Teologi Kontemporer |
Judul buku :
Teologi Abu-abu; Pluralisme Iman, Tantangan dan Ancaman Racun
Pluralisme Dalam Teologi Kristen
Pengarang :
Stevri Indra Lumintang, M.Th.
Penerbit :
Departemen Literatur YPPII. Malang, Jawa Timur.
Tahun :
2000
Cetakan :
Pertama
Tebal :
518 halaman
Bagian
yang dilaporkan adalah halaman 141-157 dan 201-229.
Pada bab VI mengenai latar belakang
bangkitnya kristologi abu-abu, penulis mengungkapkan persoalan kristologi
menyangkut relasi peristiwa Yesus dan penulisan, relasi Yesus kepercayaan dan Yesus
sejarah, relasi studi pribadi Yesus dan karya Yesus, titik berangkat
kristologinya dan persoalan finalitas Yesus di Antara agama-agama dunia.
Mengenai persoalan relasi Yesus kepercayaan
dan Yesus sejarah, penulis mengungkapkan bahwa pertanyaan mengenai dapatkah
suau pengertian yang pantas mengenai Yesus didasarkan atas data sejarah ataukah
harus disikapi dengan iman telah melahirkan berbagai respon kelompok liberal
berupa penelitian Yesus Sejarah, kemudian dilanjutkan dengan lahirnya
penelitian baru mengenai Yesus Sejarah, Yesus Seminar serta kemudian bangkit
pula penyelidikan ketiga mengenai Yesus Sejarah. Penulis berpendapat bahwa Penyelidikan
Yesus Sejarah adalah penyelidikan mengenai Yesus sejarah dengan menggunakan
metode kritik Alkitab, dengan tokoh-tokoh seperti David Strauss, Ernest Renan,
Adolf Von Harnack, dan Albert Schweitzer, yang melihat Yesus sebagai manusia biasa saja yang
rohani dan bermoral serta memiliki kebenaran-kebenaran iman. Pendekatan mereka
adalah humanitas, pengalaman agamawi dan metode penelitian ilmiah.
Penyelidikan baru Yesus Sejarah dilaksanakan
oleh Barth, Bultman dan Bornkamm. Penelitian ini menekankan transendensi dan
kekuasaan Allah seta kebutuhan manusia akan penebusan di mana focus kekristenan
adalah pada kerygma. Sedangkan penyelidikan ketiga Yesus Sejarah merupakan
perpaduan metode dan model dari pelbagai macam disiplin ilmu yang berbeda yaitu
sosiologi, antropoologi, sejarah dan ilmu perbandingan agama, selain metode penelitian Alkitab. Penyelidikan ini
lebiih menyoroti Yesus dalam konteks keYahudian-Nya abad pertama di mana Ia
hidup dan melayani. Penulis berpendapat bahwa pada dasarnya penyelidikan
mengenai Yesus Sejarah ialah tidak mempercayai Kitab Injil Kanonik sebagai
sumber pemahaman tentang Yesus., mengabaikan aspek utama yaitu rohani; membuang
semua unsur-unsur supernatural, menghilangkan mitos dari kekristenan, memandang
Yesus sebagai manusia biasa yang baik dan bermoral tinggi dan patut diteladani
oleh orang Kristen. Penulis berpendapat bahwa fakta ini sudah dan sedang
merusak kekristenan dewasa ini.
Mengenai persoalan relasi studi
pribadi Kristus dan karya Kristus, penulis menyatakan bahwa itu adalah
persoalan memisahkan kristologi yang ontologis, yang menekankan pada pemahaman
tentang siapakah Yesus dan kristologi yang fungsional, yang menekankan pada apa
yang dikerjakan Kristus bagi manusia. Persoalan ini telah bermula sejak gereja
purba sampai sekarang ini. Penulis menilai bahwa yang paling berantusias dengan
kristologi fungsional ialah kaum pluralism, yang menekankan karya Yesus bagi
manusia, bukan dalam arti penebusan tapi dalam arti pembaharuan social, dengan
salah satu tokohnya adalah Choan-Seng Song. Penulis berpendapat bahwa pada hakekatnya,
seorang teolog bahkan orang Kristen pada umumnya, tidak patut memisahkan
pribadi dan karya Kristus dalam berkristologi. Memandang hanya satu sisi dari
pribadi dan karya Kristus adalah bertentangan dengan hakekat atonemen Kristus.
Berkaitan dengan persoalan titik
berangkat kristologi, penulis mengungkapkan ada dua titik berangkat atau dua
metode pendekatan yaitu metode Kristologi dari atas (The Christology From
Above), dikenal sebagai strategi dasar dan orientasi gereja abad permulaan,
yang pada abad ke-20 dipakai Karl Barth, Rudolf Bultmann dan Emil Brunner. Yang
kedua adalah Kristologi dari bawah, yang memulai dengan manusia Yesus dari
Nazaret kemudian bertanya bagaimana caranya Ia menjadi Allah, dengan tokohya
adalah Wolfhart Pannenberg. Penulis berpendapat bahwa yang benar adalah
perpaduan kedua pendekatan tersebut seperti yang dilakukan C.H. Marshal, C.F.D.
Moule dan M.F. Erickson.
Mengenai persoalan finalitas Yesus di
antara agama-agama dunia, penulis mengungkapkan bahwa finalitas kristus menegaskan
finalitas agama Kristen, mendapat tantangan justru dari kalangan Kristen
sendiri karena adanya fakta pluralism agama dan tuntutan kerukunan hidup
beragama. Pluralitas keagamaan semakin mendesak dan memilah kelompok Kristen
eksklusif menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang semakin tertutup dan
kelompok yang inklusif. Kelompok inklusif setidaknya memiliki tiga pendekatan
terhadap pluralism keagamaan, yaitu Teosentris, Kristosentris, dan dialogis.
Pendekatan theosentris memfokuskan
perhatian kepada Allah daripada pada Kristus, dan pernyataan-pernyataan Yesus
yang bersifat theosentris. Tokohnya adalah Coward, Paul Tilick, John Hick dan
Wilfres Cantel Smith. Pendekatan Kristosentris dengan dua model pendekatan
yaitu model pendekatan Kristologi eksklusif yang dianut oleh teolog Injili dan
yang kedua adalah model pendekatan Kristologi pluralisme, sebagai pendekatan
terhadap agama-agama lain berdasarkan Kristologi yang mengganggap bahwa Yesus
Kristus adalah penjelmaan Allah yang unik. Penulis mengganggap pada dasarnya
pendekatan Theosentris dan Kristosentris yang pluralis adalah pendekatan yang
mengabaikan kebenaran Firman Tuhan dalam Yohanes 3:16, 36 dan berusaha untuk
diterima dalam sosialisasinya dengan agama-agama lain, namun rela membuang
keunikan dan kefinalitasan Yesus, kebenaran-kebenaran iman Kristen yang hakiki.
Pendekatan dialogis dipelopori oleh
tiga teolog Asia, yaitu Stanley Samartha, Raimundo Panikkar dan Choan-Seng Song
yang menempuh pendekatan ini karena diwarnai oleh latar-belakang kehidupan
pribadi yang hidup sebagai kelompok minoritas. Penulis berpendapat bahwa konsep
dari pendekatan dialogis ini adalah pendekatan yang sangat kompromistis yang
merusak sendi-sendi Kekristenan yang utama, memaksa orang Kristen untuk
menyembunyikan finalitas Yesus dan kemutlakan kebenaran Alkitab, serta memaksa
orang Kristen untuk mengakui adanya kebenaran di luar Yesus, yaitu kebenaran
yang diperoleh melalui mempelajari kebenaran agama lain.
Mengenai usulan kaum pluralis dalam
berdialog, penulis memaparkan pendapat Choan-Seng Song yang megangkat tujuh
tahap untuk mencapai pertobatan dialogis yaitu langkah-langkah praktis dialog
sampai pada puncaknya yaitu kehidupan bersama dengan mitra dialog. Tahap
pertama adalah mengalami perasaan dalam agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan;
memahami agama lain dari sudut pandang agama itu sendiri. Tahap kedua adalah
proses identifikasi yaitu pencarian hal-hal yang kita kenal di Antara yang
asing. Tahap ketiga adalah terbuka dan melihat persekutuan orang-orang bukan
Kristen dengan Allah dan sesama. Tahap keempat adalah mengalami kehidupan
bersama secara mendalam dimana kita belajar bahasa mereka, memberi perhatian
kepada semantic mereka, tanggap terhadap nuansanya dan paham akan cerita
mereka.
Tahap kelima, mengakui kebodohan
bahwa kita belum memahami agama-agama lain. Tahap keenam adalah tahap pengakuan
kebodohan, penilaian kembali yang radikal terhadap diri sendiri dan melakukan
perjanjian iman. Tahap ketujuh adalah berbalik dari memakai dialog sebagai alat
untuk mengubah iman dan kepercayaan lain dan melangkah masuk ke dalam kehidupan mitra-mitra berdialog. Menurut
penulis, semua konsep dan metode dialog kaum pluralis adalah sangat berbahaya
bagi misi Kristen, bukan hanya melemahkan dan melumpuhkan melainkan juga
mematikan misis Kristen.
Pada bab IX mengenai penginjilan
dalam konteks masyarakat majemuk, penulis memberikan kontribusi pemikiran
dengan menegaskan bahwa pluralisme adalah tantangan sekaligus peluang.
Sementara misi alkitabiah berangkat dari Missio Dei, dan misi Kristen berbicara
tentang peran orang Kristen dalam pelaksanaan amanat misi Allah, yaitu
penebusan oleh Yesus Kristus yang dikerjakan-Nya secara sempurna di kayu salib.
Penulis mengungkapkan dialog yang
teologis sebagai tugas gereja, amanat dari Allah yang telah, sedang dan akan
berdialog dengan manusia melalui Alkitab sebagai Firman Allah. Sebagai tugas
gereja, dialog dapat diterapkan sebagai upaya mengantisipasi konflik antar
agama dan upaya menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa. Dialog formal yang
dibangun melalui konferensi atau pertemuan-pertemuan resmi antar agama tidaklah
efektif untuk pekabaran Injil. Sementara dialog non-formal yang dibangun
melalui pendekatan persahabatan atau persaudaraan dengan orang beragama lain
masih relevan sebagai jembatan pekabaran Injil. Perlu ada pemahaman ulang
mengenai istilah dialog dengan tidak boleh mengabaikan proklamasi Injil Yesus
Kristus yang lahir dari inti Injil yaitu finalitas Yesus dimana dialog antar
pribadi lebih efektif daripada dialog antar kelompok. Dialog ini harus diawali
dengan dialog kehidupan. Penulis juga menegaskan bahwa dalam misi penginjilan
yang kontekstual, membangun persekutuan dengan orang bukan Kristen, bukan
sebagai tujuan misi Kristen melainkan sebagai pendekatan untuk proklamasi
Injil. Konstekstualisasi tersebut seperti yang dicontohkan Paulus.
Pada halaman 213-233 penulis
memaparkan mengenai teologi abu-abu yang dianut Choan-Seng Song. Pada bab X
dijelaskan mengenai latar belakang teologi abu-abu C.S Song, latar belakang
pribadi, tinjauan umum teologinya dan sumber teologinya serta pengaruhnya di
Indonesia.
Choan-Seng Song adalah seorang teolog
Presbiterian dari Taiwan yang belajar di National Taiwan University, dan
melanjutkan studinya di New College Edinburgh dan Union Theological Seminary di
New York. Ia bekerja sebagai professor Teologi Sistematika merangkap pimpinan
Tainan Theological College pada tahun 1976-1977, dan sebagai guru besar tamu
pada Princeton Theological Seminary. Kemudian menjadi salah seorang direktur
secretariat Komisi Iman dan Tata Gereja Dewan Gereja se-Dunia di Jenewa Swiss.
Song menjadi professor untuk bidang teologi dan kebudayaan-kebudayaan Asia pada
Pasific School of Religion, Berkeley, California, USA dan bekerja di World
Council of Churches and World Alliance of Reformed Churches di Jenewa.
C.S. Song adalah seorang pelopor bagi
teologi konteks Asia, yang mendukung dan menganjurkan cara-cara berteologia
Asia dengan memanfaatkan sumber-sumber dan pengertian-pengertian Asia. Beberapa
bukunya misalnya, “From Israel to Asia, A Theological Leap”, An Asian Attempt,
Third-Eye Theology: Theology in Formation in Asian Settings, The Compassionate
God, The Tears of Lady Meng: A Parable of People’s Political Theology, The
Crucified People, Tell Us Our Names dan sejumlah tulisan lainnya.
Penulis memberikan pendapatnya
mengenai metode pendekatan Song bahwa pendekatan kristologi Song adalah sama
dengan semua pendekatan Kristologi kaum pluralis, yaitu menekankan pada
Kristologi Fungsional yang melihat Allah dari sudut manfaat, seperti Allah
mengasihi, memberi hidup kepada manusia. Mengenai konsep soteriologis, Song
menolak sejarah keselamatan yang linier dan sempit, yang Kristosentris, atau
dengan kata lain menolak finalitas Yesus, humanistis dan sama dengan konsep
Pelagius serta Arminian.
Mengenai konsep Kristologis, Song
menekankan kemanusiaan Yesus, sebagai manusia biasa yang didiami oleh Allah,
pandangan yang sama dengan para tokoh liberal kuno seperti Albert Schweitzer,
Albrecht Ritschl, Adolf Von Harnack. Mengenai konsep misiologis, Song
menekankan Kerajaan Allah, misi kasih, dan bukan kebenaran. Konsep Misi Song
menurut penulis adalah konsep misi humanis dan bukan Alkitabiah. Sementara itu,
berkaitan dengan metodologi yang dialogis, Song menyetujuinya sebagai
perjumpaan sejati dengan orang, kepercayaan dan ideology lain dan menemukan ada
jalan lain untuk mengenal kebenaran; pandangan yang sama dengan pandangan kaum
pluralis.
Sumber teologi abu-abu dari C.S. Song
adalah dari lingkungan hidupnya sebagai orang Asia dengan kemajemukan agama dan
kebudayaan. Latar belakang studinya juga berpengaruh besar. Selanjutnya adalah
pengalaman hidup dan studi terhadap para teolog sekularis dan liberalis seperti
filsafat Chuang Tzu dan Hui Tzu, John Macquarrie, Harvie Cox, John A.T.
Robinson serta teolog-teolog pluralis seperi Joachim Jeremias. M.M Thomas,
Leslie Newbigin, Kosuke Koyama, C.H. Hwang, Masao Takenaka, Stanley Samartha
dan Dr. Ans van Bent.
Teologi abu-abu C.S. Song cukup besar
pengaruhnya di Indonesia. Banyak bukunya beredar di Indonesia, yang dipakai di
toko buku Kristen dan perpustakaan sekolah teologi, atau dengan kata lain
dianggap bermanfaat bagi pengajaran teologi di Indonesia.
Dari pemaparan ini penulis sangat mengkritisi pengaruh pluralisme dan menyatakannya sebagai hal yang berbahaya bagi teologi dan iman Kristen. Semakin jelas digambarkan bahwa teologi pluralis berangkat dari konteks. Pandangan penulis sama dengan pandangan adiknya, Ramly Lumintang yang mengungkapkan bahwa teologi yang dibangun atas konteks akan kemudian hilang sejalan perubahan konteks.
by : James Theopilus Mahasiswa SEKOLAH TINGGI TEOLOGI BANDUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar