Kamis, 17 November 2022

LAPORAN BACA TEOLOGI KOTEMPORER (Teologi Abu-abu; Pluralisme Iman, Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme Dalam Teologi Kristen)


Teologi Kontemporer

Judul buku      : Teologi Abu-abu; Pluralisme Iman, Tantangan dan Ancaman Racun

  Pluralisme Dalam Teologi Kristen

Pengarang       : Stevri Indra Lumintang, M.Th.

Penerbit           : Departemen Literatur YPPII. Malang, Jawa Timur.

Tahun              : 2000

Cetakan           : Pertama

Tebal               : 518 halaman

 

Bagian yang dilaporkan adalah halaman 141-157 dan 201-229.

Pada bab VI mengenai latar belakang bangkitnya kristologi abu-abu, penulis mengungkapkan persoalan kristologi menyangkut relasi peristiwa Yesus dan penulisan, relasi Yesus kepercayaan dan Yesus sejarah, relasi studi pribadi Yesus dan karya Yesus, titik berangkat kristologinya dan persoalan finalitas Yesus di Antara agama-agama dunia.

Mengenai persoalan relasi Yesus kepercayaan dan Yesus sejarah, penulis mengungkapkan bahwa pertanyaan mengenai dapatkah suau pengertian yang pantas mengenai Yesus didasarkan atas data sejarah ataukah harus disikapi dengan iman telah melahirkan berbagai respon kelompok liberal berupa penelitian Yesus Sejarah, kemudian dilanjutkan dengan lahirnya penelitian baru mengenai Yesus Sejarah, Yesus Seminar serta kemudian bangkit pula penyelidikan ketiga mengenai Yesus Sejarah. Penulis berpendapat bahwa Penyelidikan Yesus Sejarah adalah penyelidikan mengenai Yesus sejarah dengan menggunakan metode kritik Alkitab, dengan tokoh-tokoh seperti David Strauss, Ernest Renan, Adolf Von Harnack, dan Albert Schweitzer, yang  melihat Yesus sebagai manusia biasa saja yang rohani dan bermoral serta memiliki kebenaran-kebenaran iman. Pendekatan mereka adalah humanitas, pengalaman agamawi dan metode penelitian ilmiah.

Penyelidikan baru Yesus Sejarah dilaksanakan oleh Barth, Bultman dan Bornkamm. Penelitian ini menekankan transendensi dan kekuasaan Allah seta kebutuhan manusia akan penebusan di mana focus kekristenan adalah pada kerygma. Sedangkan penyelidikan ketiga Yesus Sejarah merupakan perpaduan metode dan model dari pelbagai macam disiplin ilmu yang berbeda yaitu sosiologi, antropoologi, sejarah dan ilmu perbandingan agama, selain  metode penelitian Alkitab. Penyelidikan ini lebiih menyoroti Yesus dalam konteks keYahudian-Nya abad pertama di mana Ia hidup dan melayani. Penulis berpendapat bahwa pada dasarnya penyelidikan mengenai Yesus Sejarah ialah tidak mempercayai Kitab Injil Kanonik sebagai sumber pemahaman tentang Yesus., mengabaikan aspek utama yaitu rohani; membuang semua unsur-unsur supernatural, menghilangkan mitos dari kekristenan, memandang Yesus sebagai manusia biasa yang baik dan bermoral tinggi dan patut diteladani oleh orang Kristen. Penulis berpendapat bahwa fakta ini sudah dan sedang merusak kekristenan dewasa ini.

Mengenai persoalan relasi studi pribadi Kristus dan karya Kristus, penulis menyatakan bahwa itu adalah persoalan memisahkan kristologi yang ontologis, yang menekankan pada pemahaman tentang siapakah Yesus dan kristologi yang fungsional, yang menekankan pada apa yang dikerjakan Kristus bagi manusia. Persoalan ini telah bermula sejak gereja purba sampai sekarang ini. Penulis menilai bahwa yang paling berantusias dengan kristologi fungsional ialah kaum pluralism, yang menekankan karya Yesus bagi manusia, bukan dalam arti penebusan tapi dalam arti pembaharuan social, dengan salah satu tokohnya adalah Choan-Seng Song. Penulis berpendapat bahwa pada hakekatnya, seorang teolog bahkan orang Kristen pada umumnya, tidak patut memisahkan pribadi dan karya Kristus dalam berkristologi. Memandang hanya satu sisi dari pribadi dan karya Kristus adalah bertentangan dengan hakekat atonemen Kristus.

Berkaitan dengan persoalan titik berangkat kristologi, penulis mengungkapkan ada dua titik berangkat atau dua metode pendekatan yaitu metode Kristologi dari atas (The Christology From Above), dikenal sebagai strategi dasar dan orientasi gereja abad permulaan, yang pada abad ke-20 dipakai Karl Barth, Rudolf Bultmann dan Emil Brunner. Yang kedua adalah Kristologi dari bawah, yang memulai dengan manusia Yesus dari Nazaret kemudian bertanya bagaimana caranya Ia menjadi Allah, dengan tokohya adalah Wolfhart Pannenberg. Penulis berpendapat bahwa yang benar adalah perpaduan kedua pendekatan tersebut seperti yang dilakukan C.H. Marshal, C.F.D. Moule dan M.F. Erickson.

Mengenai persoalan finalitas Yesus di antara agama-agama dunia, penulis mengungkapkan bahwa finalitas kristus menegaskan finalitas agama Kristen, mendapat tantangan justru dari kalangan Kristen sendiri karena adanya fakta pluralism agama dan tuntutan kerukunan hidup beragama. Pluralitas keagamaan semakin mendesak dan memilah kelompok Kristen eksklusif menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang semakin tertutup dan kelompok yang inklusif. Kelompok inklusif setidaknya memiliki tiga pendekatan terhadap pluralism keagamaan, yaitu Teosentris, Kristosentris, dan dialogis.

Pendekatan theosentris memfokuskan perhatian kepada Allah daripada pada Kristus, dan pernyataan-pernyataan Yesus yang bersifat theosentris. Tokohnya adalah Coward, Paul Tilick, John Hick dan Wilfres Cantel Smith. Pendekatan Kristosentris dengan dua model pendekatan yaitu model pendekatan Kristologi eksklusif yang dianut oleh teolog Injili dan yang kedua adalah model pendekatan Kristologi pluralisme, sebagai pendekatan terhadap agama-agama lain berdasarkan Kristologi yang mengganggap bahwa Yesus Kristus adalah penjelmaan Allah yang unik. Penulis mengganggap pada dasarnya pendekatan Theosentris dan Kristosentris yang pluralis adalah pendekatan yang mengabaikan kebenaran Firman Tuhan dalam Yohanes 3:16, 36 dan berusaha untuk diterima dalam sosialisasinya dengan agama-agama lain, namun rela membuang keunikan dan kefinalitasan Yesus, kebenaran-kebenaran iman Kristen yang hakiki.

Pendekatan dialogis dipelopori oleh tiga teolog Asia, yaitu Stanley Samartha, Raimundo Panikkar dan Choan-Seng Song yang menempuh pendekatan ini karena diwarnai oleh latar-belakang kehidupan pribadi yang hidup sebagai kelompok minoritas. Penulis berpendapat bahwa konsep dari pendekatan dialogis ini adalah pendekatan yang sangat kompromistis yang merusak sendi-sendi Kekristenan yang utama, memaksa orang Kristen untuk menyembunyikan finalitas Yesus dan kemutlakan kebenaran Alkitab, serta memaksa orang Kristen untuk mengakui adanya kebenaran di luar Yesus, yaitu kebenaran yang diperoleh melalui mempelajari kebenaran agama lain.

Mengenai usulan kaum pluralis dalam berdialog, penulis memaparkan pendapat Choan-Seng Song yang megangkat tujuh tahap untuk mencapai pertobatan dialogis yaitu langkah-langkah praktis dialog sampai pada puncaknya yaitu kehidupan bersama dengan mitra dialog. Tahap pertama adalah mengalami perasaan dalam agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan; memahami agama lain dari sudut pandang agama itu sendiri. Tahap kedua adalah proses identifikasi yaitu pencarian hal-hal yang kita kenal di Antara yang asing. Tahap ketiga adalah terbuka dan melihat persekutuan orang-orang bukan Kristen dengan Allah dan sesama. Tahap keempat adalah mengalami kehidupan bersama secara mendalam dimana kita belajar bahasa mereka, memberi perhatian kepada semantic mereka, tanggap terhadap nuansanya dan paham akan cerita mereka.

Tahap kelima, mengakui kebodohan bahwa kita belum memahami agama-agama lain. Tahap keenam adalah tahap pengakuan kebodohan, penilaian kembali yang radikal terhadap diri sendiri dan melakukan perjanjian iman. Tahap ketujuh adalah berbalik dari memakai dialog sebagai alat untuk mengubah iman dan kepercayaan lain dan melangkah masuk ke dalam  kehidupan mitra-mitra berdialog. Menurut penulis, semua konsep dan metode dialog kaum pluralis adalah sangat berbahaya bagi misi Kristen, bukan hanya melemahkan dan melumpuhkan melainkan juga mematikan misis Kristen.

Pada bab IX mengenai penginjilan dalam konteks masyarakat majemuk, penulis memberikan kontribusi pemikiran dengan menegaskan bahwa pluralisme adalah tantangan sekaligus peluang. Sementara misi alkitabiah berangkat dari Missio Dei, dan misi Kristen berbicara tentang peran orang Kristen dalam pelaksanaan amanat misi Allah, yaitu penebusan oleh Yesus Kristus yang dikerjakan-Nya secara sempurna di kayu salib.

Penulis mengungkapkan dialog yang teologis sebagai tugas gereja, amanat dari Allah yang telah, sedang dan akan berdialog dengan manusia melalui Alkitab sebagai Firman Allah. Sebagai tugas gereja, dialog dapat diterapkan sebagai upaya mengantisipasi konflik antar agama dan upaya menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa. Dialog formal yang dibangun melalui konferensi atau pertemuan-pertemuan resmi antar agama tidaklah efektif untuk pekabaran Injil. Sementara dialog non-formal yang dibangun melalui pendekatan persahabatan atau persaudaraan dengan orang beragama lain masih relevan sebagai jembatan pekabaran Injil. Perlu ada pemahaman ulang mengenai istilah dialog dengan tidak boleh mengabaikan proklamasi Injil Yesus Kristus yang lahir dari inti Injil yaitu finalitas Yesus dimana dialog antar pribadi lebih efektif daripada dialog antar kelompok. Dialog ini harus diawali dengan dialog kehidupan. Penulis juga menegaskan bahwa dalam misi penginjilan yang kontekstual, membangun persekutuan dengan orang bukan Kristen, bukan sebagai tujuan misi Kristen melainkan sebagai pendekatan untuk proklamasi Injil. Konstekstualisasi tersebut seperti yang dicontohkan Paulus.

Pada halaman 213-233 penulis memaparkan mengenai teologi abu-abu yang dianut Choan-Seng Song. Pada bab X dijelaskan mengenai latar belakang teologi abu-abu C.S Song, latar belakang pribadi, tinjauan umum teologinya dan sumber teologinya serta pengaruhnya di Indonesia.

Choan-Seng Song adalah seorang teolog Presbiterian dari Taiwan yang belajar di National Taiwan University, dan melanjutkan studinya di New College Edinburgh dan Union Theological Seminary di New York. Ia bekerja sebagai professor Teologi Sistematika merangkap pimpinan Tainan Theological College pada tahun 1976-1977, dan sebagai guru besar tamu pada Princeton Theological Seminary. Kemudian menjadi salah seorang direktur secretariat Komisi Iman dan Tata Gereja Dewan Gereja se-Dunia di Jenewa Swiss. Song menjadi professor untuk bidang teologi dan kebudayaan-kebudayaan Asia pada Pasific School of Religion, Berkeley, California, USA dan bekerja di World Council of Churches and World Alliance of Reformed Churches di Jenewa.

C.S. Song adalah seorang pelopor bagi teologi konteks Asia, yang mendukung dan menganjurkan cara-cara berteologia Asia dengan memanfaatkan sumber-sumber dan pengertian-pengertian Asia. Beberapa bukunya misalnya, “From Israel to Asia, A Theological Leap”, An Asian Attempt, Third-Eye Theology: Theology in Formation in Asian Settings, The Compassionate God, The Tears of Lady Meng: A Parable of People’s Political Theology, The Crucified People, Tell Us Our Names dan sejumlah tulisan lainnya.

Penulis memberikan pendapatnya mengenai metode pendekatan Song bahwa pendekatan kristologi Song adalah sama dengan semua pendekatan Kristologi kaum pluralis, yaitu menekankan pada Kristologi Fungsional yang melihat Allah dari sudut manfaat, seperti Allah mengasihi, memberi hidup kepada manusia. Mengenai konsep soteriologis, Song menolak sejarah keselamatan yang linier dan sempit, yang Kristosentris, atau dengan kata lain menolak finalitas Yesus, humanistis dan sama dengan konsep Pelagius serta Arminian.

Mengenai konsep Kristologis, Song menekankan kemanusiaan Yesus, sebagai manusia biasa yang didiami oleh Allah, pandangan yang sama dengan para tokoh liberal kuno seperti Albert Schweitzer, Albrecht Ritschl, Adolf Von Harnack. Mengenai konsep misiologis, Song menekankan Kerajaan Allah, misi kasih, dan bukan kebenaran. Konsep Misi Song menurut penulis adalah konsep misi humanis dan bukan Alkitabiah. Sementara itu, berkaitan dengan metodologi yang dialogis, Song menyetujuinya sebagai perjumpaan sejati dengan orang, kepercayaan dan ideology lain dan menemukan ada jalan lain untuk mengenal kebenaran; pandangan yang sama dengan pandangan kaum pluralis.

Sumber teologi abu-abu dari C.S. Song adalah dari lingkungan hidupnya sebagai orang Asia dengan kemajemukan agama dan kebudayaan. Latar belakang studinya juga berpengaruh besar. Selanjutnya adalah pengalaman hidup dan studi terhadap para teolog sekularis dan liberalis seperti filsafat Chuang Tzu dan Hui Tzu, John Macquarrie, Harvie Cox, John A.T. Robinson serta teolog-teolog pluralis seperi Joachim Jeremias. M.M Thomas, Leslie Newbigin, Kosuke Koyama, C.H. Hwang, Masao Takenaka, Stanley Samartha dan Dr. Ans van Bent.

Teologi abu-abu C.S. Song cukup besar pengaruhnya di Indonesia. Banyak bukunya beredar di Indonesia, yang dipakai di toko buku Kristen dan perpustakaan sekolah teologi, atau dengan kata lain dianggap bermanfaat bagi pengajaran teologi di Indonesia.

Dari pemaparan ini penulis sangat mengkritisi pengaruh pluralisme dan menyatakannya sebagai hal yang berbahaya bagi teologi dan iman Kristen. Semakin jelas digambarkan bahwa teologi pluralis berangkat dari konteks. Pandangan penulis sama dengan pandangan adiknya, Ramly Lumintang yang mengungkapkan bahwa teologi yang dibangun atas konteks akan kemudian hilang sejalan perubahan konteks.



by : James Theopilus Mahasiswa SEKOLAH TINGGI TEOLOGI BANDUNG

Tidak ada komentar: