Rabu, 14 Desember 2022

Stop LGBT, LGBT merangkai duka

Stop LGBT,  LGBT merangkai duka

LGBT merangkai duka


DULU TAKUT MENJAGA ANAK PREMPUAN.., TAPI SEKARANG LEBIH TAKUT LAGI MENJAGA ANAK LAKI2...


(Tulisan dr. Ani Hasibuan, ahli syaraf di RSCM. Semua tulisannya di'banned' oleh FB, karena semua seputar bahaya LGBT)


Sekedar berbagi cerita dari poli saraf utk para orang-tua, spy kita semakin gencar menjaga lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal &  sekolah.


》 Sejak 1997 sy berurusan dg para gay. Smpai hari ini, belum pernah absen. Mereka pasien terbanyak HIV yg sy tangani. Yg hidup tinggal beberapa sih. Barusan suster sy lapor ada lagi yg meninggal 3 hari lalu, dg kriptokokus meningitis (infeksi jamur di otak) 


Dari pengamatan sy,  Gay itu ada “kasta”nya.

Ada yg dominan, biasanya yg punya uang & lbh tua secara umur, ada yg submissif, klo sy perhatikan, semacam “piaraan”. Piaraan ini berkasta juga, ada anak muda putih bersih klimis dari kalangan keluarga menengah, ada juga yg kelas sandal jepit (bukan yg harga 18 ribu ya...๐Ÿ˜”).


Perlakuan dari yg dominan pd piaraan juga berbeda, sesuai KW si piaraan. Yg KW ori diperlakukan sgt istimewa. Waktu sy kerja di klinik HIV RSCM, pernah dpt pasien mhsw univ swasta terkenal di Jakarta yg kena meningitis kriptokokus (jamur otak). Orang tuanya pekerja petrol, tinggal di Dallas, US. Dia disini tinggal sendiri. Anaknya tampan, klimis & kelihatan anak baik. Sang Dominan sering ikut mengantar klo kontrol. Jangan kaget ya, dominannya ini seorang AKTIVIS LSM ANTI-HIV. Itu klo si pasien sy ini mengeluh sakit kepala, si dominan ini mengelus2 punggung si submissif smbil bilang “sakit ya sayang? Yg mana yg sakit? Sabar ya sayang..” (untung sy msh setia pd sumpah hipocrates, klo sy berkhianat, si dominan itu mau sy suntik fentanyl 1000 cc biar mokat, mmpus..!). 


Tapi sy pernah juga dpt seorang dominan yg kena infeksi di medulla spinalis, spondilitis TB, jd lumpuh kedua kakinya tiba2. Pas dirawat, submissifnya datang menemani. Itu dibentak2, gak ada sayang2. Si submissif ini tampilannya sih kelas sandal jepit, manggil dominannya "abaaaang...” (jijik ya dengarnya) 


Ada juga piaraan bayaran. Satu pasien sy asal Jogja (skrg sdh meninggal dg toksoensefalitis; bisul di dalam otak krn kuman tokso yg srg nempel di badan kucing, anjing) mengaku dia bayaran. Dipiara seorang laki2 cina utk bayaran 1000 smp 2000 USD per bulan. Uang nya dia kirim ke Jogja utk anak & istrinya...๐Ÿ˜ฉ. Dia ini sejatinya bukan gay, jd semacam pelacur lelaki (gigolo) yg kerja sbg caddy lelaki di satu lapangan golf di Tangerang. Waktu ketahuan hiv & tokso, nangis meraung2, selama dirawat baca Qur’an terus, kalau sy periksa, slalu terisak2 & bilang menyesal. Pas ketemu bininya, sy yg berkaca2. Sebab bininya perempuan berhijab rapi dg dua balita yg juga berhijab. 


Ada juga gay kakak adik. Sejak kecil dikasih satu kamar dn satu ranjang oleh emak bapaknya. Pas gede, tau2 yg kakak kena kripto. Dicek hiv positif, ditanya pasangannya siapa, dia bilang adiknya. Pas adiknya dicek, positif juga hiv nya. Kedua2nya sdh meninggal, dlm satu ruang rawat yg sama. Ayahnya smpe anak2 itu dikubur pun gak pernah mau datang nengok... 


Hati2 dgn anak2, *ajarkan mereka utk bertindak agresif klo ada yg coba2 menggoda (gay)*, jangan kasih ampun, langsung pukuli beramai2..!!


Pengalaman sy dari anak2 yg kena goda para penyuka anus ini mereka makin agresif klo yg digoda diam atau menunjukkan rasa takut. Tapi langsung berhenti klo yg digoda langsung main fisik.

(Beberapa anak muda yg digoda gay konsultasi ke sy bersama ortunya). 


Bila anak bepergian, jangan ijinkan kalau sendirian...! Usahakan be-ramai2, spy nyalinya tdk ciut klo ada gay yg dtg menggoda. Mereka bisa tawarkan apa sj, bisa uang, bisa bujuk rayu, bisa ancaman.


Dari wawancara dgn pasien2 gay, mereka ini tadinya SEMUA pernah mengalami anal seks, sebagian besar secara paksa. Setelahnya mereka akan sngat dijaga & ditemani oleh kelompok gay. Pergaulannya diganti jd pergaulan gay, dst. 


Cerita tntang GAY, semua berakhir TRAGIS...!!! Belum pernah sy dengar yg berakhir spt di cerita fairytopia... misalnya berakhir kayak Cinderella..., happily ever after.... Kisah para gay berakhir dengan tokso, kripto, TB, pnemonia, kandida, dan diujungnya, mati sendirian tanpa didampingi kaum-nya......


Semoga bermanfaat..๐Ÿ‚


Bila Anda menganggap bhw tulisan ini bagus dn perlu diketahui oleh banyak orang, tolong bagikan kpd teman, kerabat serta handai-taulan yg lain, demi menyelamatkan generasi penerus bangsa.... ๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉ๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉ✊๐Ÿป✊๐Ÿป✊๐Ÿป


Terimakasih dr.Ani Hasibuan semoga informasi ini dpt menginspirasi para ortu yg awam tentang LGBT


๐Ÿ‘†Bagus untuk dishare.  Agar para orang tua lebih tahu dan kian wasapada thd fenomena LGBT yg ada di sekitaran kita dan (kalau tidak diantisipasi) bisa menerpa kpd keluarga manapun.


Semoga bermanfaat

Kamis, 17 November 2022

APAKAH “BAPTIS” SELALU BERARTI DISELAMKAN?

APAKAH “BAPTIS” SELALU BERARTI DISELAMKAN?


Oleh : Pdt. Esra Alfred Soru, S.Th, M.PdK

Persoalan tentang baptisan Kristen (baptisan air) adalah persoalan yang klasik, unik dan kontroversial. Mengapa? Karena masalah ini bukanlah masalah yang baru. Pergumulan-pergumulan tentang baptisan bukanlah hal yang baru di dalam gereja kita di dunia ini. Hal ini telah menimbulkan masalah sejak gereja berada dalam dunia ini. Salah satu contohnya adalah kaum Novatianus (abad 3 AD) yang berkeberatan untuk menerima kembali orang Kristen yang pernah murtad ke dalam gereja. Mereka sangat memelihara kemurnian jemaat dan karena itu barangsiapa yang menggabungkan diri dengan mereka haruslah dibaptiskan kembali karena menganggap bahwa baptisan yang telah mereka peroleh sebelumnya tidak sah.

(A.A. Yewangoe, Tentang Baptisan (Artikel-Dokumen 1), hal.1). Dalam masa-masa selanjutnya, perdebatan di sekitar masalah ini semakin sengit di kalangan gereja-gereja maupun teolog-teolog. Robert G. Rayburn berkata bahwa tidak ada doktrin dalam Alkitab yang sedemikian banyak perbedaannya, atau yang sedemikian disalahmengerti di dalam gereja Kristen selain doktrin baptisan air. (Apa itu Baptisan?;1995, hal. 5). Secara umum titik perdebatannya terletak pada dua hal yakni cara baptisan dan siapa yang layak dibaptiskan. Sebagian orang/gereja meyakini dan melaksanakan baptisan dengan cara percik, sebagian lagi dengan cara diselamkan/ditenggelamkan.

Tentang siapa yang layak dibaptiskan, sebagian orang/gereja menolak praktek baptisan anak (Infant Baptism) dan sebagian lagi menerimanya. Manakah yang benar di antara keduanya? Adakah dasar Alkitabiah yang cukup kuat bagi praktek baptisan percik dan baptisan anak yang seringkali menjadi persoalan atau dipersoalkan? Kita akan menelaahnya dan memeriksanya dari Alkitab dalam beberapa hari ini. Hal pertama yang seringkali menjadi persoalan adalah pendapat yang mengatakan bahwa baptisan yang benar adalah baptisan selam karena kata “baptis” itu dalam bahasa Yunaninya "bapto" atau bentuk kata kerjanya "baptizo" berarti “selam” atau “ditenggelamkan” dan ini adalah satu-satunya arti dari kata tersebut sebagaimana kata Jeremia Rim dalam buku pelajaran “Dasar Kekristenan Yang Kokoh” (Gereja Kristen Perjanjian Baru) hal 16 : “Kita melihat adanya berbagai macam cara pembaptisan.

Namun sebenarnya Alkitab hanya mengajarkan satu macam cara pembaptisan, yaitu dengan cara diselamkan ke dalam air. Kata baptis sendiri dalam bahasa Gerika "bapto", artinya ditenggelamkan” demikian juga Derek Prince : “Jika “bapto” berarti mencelupkan sesuatu ke dalam cairan, kemudian mengeluarkannya kembali, maka “baptizo” pasti hanya mempunyai satu arti, yaitu membiarkan sesuatu dicelupkan ke dalam suatu cairan, kemudian mengeluarkannya kembali. Singkatnya, “baptizo” (dari mana berasal kata “baptis” dalam bahasa Indonesia) berarti membiarkan sesuatu dicelupkan” (Dari Sungai Yordan Sampai Hari Pentakosta, hal. 13).

Untuk menguatkan dan membuktikan ketunggalan arti dari kata “baptis” itu maka selanjutnya Prince memaparkan penggunaan kata “bapto” atau “baptizo” itu dalam literatur sekuler Yunani dari segala zaman mulai dari abad ke lima atau ke empat sebelum Masehi. Ia mengutip perkataan Plato, Hippocrates, Strabo, Flavius Josephus dan Plutarch, dan akhirnya ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa : “Berdasarkan penyelidikan yang singkat ini, kita melihat jelas bahwa kata Yunani “baptizo” selalu mempunyai arti yang sama, yang tidak pernah berubah sepanjang masa. Mulai dari bahasa Yunani klasik sampai pada bahasa Yunani Perjanjian Baru. Kata itu tidak pernah berubah maknanya, yaitu : “membiarkan sesuatu dicelupkan”, “membenamkan sesuatu di bawah permukaan air atau cairan yang lain”. (Prince, 15). Tentu menarik apa yang dikatakan dan dikemukakan oleh Prince, namun sayangnya adalah di dalam memberikan pengertian dasar dari kata “bapto” atau “baptizo” ini, Prince banyak mengutip pendapat dan penggunaan kata ini dalam literatur sekuler Yunani namun hanya mengutip beberapa ayat Alkitab dan itu pun dengan penjelasan yang sangat singkat (Prince, 11-12) padahal jika diteliti dengan seksama dalam teks bahasa Yunani, kata tersebut digunakan sangat banyak dalam berbagai bagian Alkitab khususnya PB.

Apa yang dikemukakan Prince cukup dapat dipertimbangkan, namun pertanyaan bagi kita adalah cukupkah sampai di situ? Apakah tidak ada arti yang lain lagi dari kata itu? Karena itu bersama dengan Rayburn saya hendak berkata : “Daftar mereka yang panjang tentang contoh-contoh yang dipergunakan dalam literatur sekuler Yunani adalah sangat penting. Kata-kata dari para ahli kamus yang ternama cukup memenuhi syarat, dan butir-butirnya cukup bisa diterima. Tetapi ketika itu sudah diterima, kita harus melanjutkannya dengan bertanya adakah arti yang lebih tepat lagi, dan digunakan pada kata itu selain daripada pengertian tersebut, demikian juga mereka yang sungguh terhormat harus setuju bahwa ada arti yang lain”. (Rayburn, 22).

Ada arti yang lain? Benarkah demikian? Jawaban bagi pertanyaan ini haruslah bersumber dari Alkitab sebab Alkitab adalah satu-satunya dasar yang obyektif dari semua pemahaman. Untuk itu baiklah kita meneliti beberapa ayat Alkitab yang berkaitan dengan masalah ini. Dalam Mark 7 :4 dikatakan : “dan kalau pulang dari pasar mereka juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan ("baptizontai") dirinya. Banyak warisan lain lagi yang mereka pegang, umpanya hal mencuci ("baptizmous") cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga”. Perhatikan baik-baik, dalam teks Yunani kata “membersihkan” menggunakan kata "baptisontai" sedangkan kata “mencuci” menggunakan kata "baptismous". Kata "baptisontai" adalah bentuk present indikatif pasif dari kata dasar "baptizo" sedangkan kata "baptismous" adalah bentuk akusatif dari kata "baptizmous" yang berasal dari kata dasar "bapto" dari mana kata “baptis” berasal. Jadi rupanya kata “baptis” juga dapat berarti membersihkan atau mencuci.

Kalau kita hendak berkata bahwa kata ‘baptis’ hanya berarti menyelamkan/menenggelamkan, maka rasanya aneh sekali kalau setiap kali hendak makan orang Yahudi harus menenggelamkan dirinya maupun cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga ke dalam air. Hal ini lebih tidak masuk akal lagi apabila kita melihat terjemahan KJV : “And when they come from the market, except they wash, they eat not. And many other things there be, which they have received to hold, as the washing of cups, and pots, brasen vessels, and of tables” (Dan pada waktu mereka pulang dari pasar, kecuali mereka mencuci, mereka tidak makan. Dan banyak hal-hal lain yang mereka terima untuk dipegang, seperti pencucian cawan, belanga/panci, bejana/tempat dari tembaga, dan meja-meja). Jadi rupanya meja-meja juga dibaptis. Seandainya baptis hanya berarti menenggelamkan, maka sebelum makan orang Yahudi harus terlebih dahulu menenggelamkan meja-meja juga. Tentu ini tidak masuk di akal.

Perhatikan juga Luk 11:38 : “Orang Farisi itu melihat hal itu dan ia heran, karena Yesus tidak mencuci ("ebaptizthe") tangan-Nya sebelum makan”. Kata "ebaptizthe" yang dipergunakan di sini adalah bentuk aorist pasif dari kata dasar "baptizo". Dalam bagian ini berarti mencuci. “Mencuci (membaptis) tangan sebelum makan”. Jika kata “baptis” hanya berarti ditenggelamkan, maka seharusnya Yesus menenggelamkan tangan-Nya sebelum makan. Jika saudara-saudara pemegang paham baptisan selam konsisten dengan pengertian mereka tentang kata “baptis” yakni menenggelamkan seluruhnya, maka seharusnya sebelum makan Yesus menenggelamkan seluruh tangannya. Saya kira ini adalah aktifitas yang tidak mungkin. Perlu diketahui juga bahwa tradisi mencuci tangan ini dalam kebudayaan Yahudi berhubungan dengan penyucian dari kemungkinan kenajisan. Dan bagaimanakah tradisi ini dilakukan? Simaklah penjelasan William Barclay : “Menurut hukum itu sebelum makan tangan harus dicuci dengan hukum-hukum yang sangat mendetail. Dengan sengaja disimpan air khusus untuk keperluan tersebut sebab air biasa dikuatirkan tidak bersih.

Air yang dipakai paling kurang sebanyak satu perempat dari batang bambu. Pertama-tama air itu harus dituangkan ke atas tangan dimulai dari jari kelingking dan terus sampai ke pergelangan. Kemudian telapak tangan haruslah dibersihkan dengan menggosokkan genggam yang satu kepada yang lainnya. Akhirnya sekali lagi air dituangkan ke atas tangan, kali ini dimulai dari pergelangan dan berakhir pada ujung-ujung jari”. (Pemahaman Alkitab Setiap Hari (Lukas), hal. 224). Dari tradisi ini kita ketahui bahwa air untuk mencuci (membaptis) tangan ini hanya sedikit saja dan ditaruh di dalam bambu, juga aktifitas pencuciannya selalu dilakukan dengan cara dituangkan. Dengan demikian arti kata “baptis” yang digunakan di sini lebih kepada dituangkan dan bukan ditenggelamkan atau diselamkan. Bagaimana mungkin orang menenggelamkan seluruh tangannya ke dalam sedikit air dalam bambu? Mat 26:23 : “Ia menjawab: “Dia yang bersama-sama dengan Aku mencelupkan ("embapsas") tangannya ke dalam pinggan ini, dialah yang akan menyerahkan Aku”. Kata “mencelupkan” dalam ayat di atas menggunakan kata bahasa Yunani "embapsas" yakni bentuk nominatif partisif aorist aktif dari kata dasar "embapto" yang berarti mencelupkan ke dalam. Jadi ayat ini seharusnya berbunyi : “Dia yang bersama-sama dengan Aku membaptis tangannya ke dalam pinggan ini, dialah yang akan menyerahkan Aku”. Perhatikan baik-baik kalimat ini! Di sini dikatakan “membaptis tangan”. Jika arti kata “baptis” hanyalah ditenggelamkan atau diselamkan, itu berarti bahwa harus menenggelamkan seluruh tangan ke dalam pinggan (Bandingkan dengan penjelasan Luk 1 :38 di atas).

Bagaimana mungkin menenggelamkan seluruh tangan ke dalam sebuah pinggan? Satu ayat lagi yang memaksakan kita menerima kejamakan art dari kata “baptis” itu yakni 1 Kor 10 :1-2 : “Aku mau, supaya kamu mengetahui, saudara-saudara, bahwa nenek moyang kita semua berada di bawah perlindungan awan dan bahwa mereka semua telah melintasi laut. Untuk menjadi pengikut Musa mereka semua telah dibaptis ("ebaptizthesan") dalam awan dan dalam laut”. Kata “dibaptis” dalam ayat ini menggunakan kata Yunani "ebaptizthesan" yakni bentuk aorist indikatif pasif dari kata dasar "baptizo". Ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa orang Israel dibaptis dalam awan dan dalam laut. Awan dan laut yang dihubungkan dengan kehidupan orang Israel ini jelas menunjuk kepada dua peristiwa pada masa exodus (keluaran) di mana orang Israel dilindungi oleh Allah dengan tiang awan pada waktu siang hari (Kel 13:21-22; 14:19) dan juga pada saat mereka menyeberang laut Teberau (Kel 14:21-22).

Hal ini dijelaskan dalam ayat 1 dari I Kor 10. Perhatikan dengan seksama, perlindungan awan dan penyeberangan laut dilihat oleh Paulus sebagai sebuah baptisan. Jika kata “baptis” hanya berarti ditenggelamkan atau diselamkan, maka pertanyaan kita adalah kapankah orang Israel ditenggelamkan atau diselamkan ke dalam laut? Derek Prince membahasakan pengalaman orang Israel dengan berkata bahwa bani Israel masuk ke dalam laut, melintasi laut dan keluar lagi dari dalam laut (Prince, 165) dan ini menunjuk kepada fakta dan cara baptisan air yakni orang yang dibaptis itu masuk ke dalam air, berjalan melintasi air, kemudian keluar lagi dari air.(bid, 165-166).

Hal ini (yang dialami oleh orang Israel) memang benar, namun persoalannya adalah bahwa fakta orang Israel masuk ke dalam laut, melintasi laut dan keluar lagi dari dalam laut tidak membuat mereka sampai tenggelam atau terbenam di dalam laut sehingga basah kuyup. Dengan demikian fakta ini tidak bisa dipakai sebagai acuan terhadap cara baptisan selam yang nyata-nyata membuat orang yang dibaptis itu basah kuyup. Apa yang dikatakan oleh Prince itu senada dengan apa yang dikatakan oleh Lukas Sutrisno : “Istilah Paulus tentang baptis di sini menunjuk atau mengacu kepada kenyataan bahwa bangsa Israel itu betul melewati laut sebagai gambaran ditenggelamkan” (Sebuah jawaban dalam diskusi dengan saya via email tanggal 20 Maret 2002) namun persoalannya adalah apakah hanya untuk menegaskan bahwa bangsa Israel pernah melewati laut Paulus harus menggunakan kata “baptis”? Kalau begitu apakah Paulus yang melewati Siprus dapat dikatakan bahwa ia dibaptis (tenggelam) di Siprus? (Kis 21:3).

Apakah dengan masalah ini maka para pemegang paham baptisan selam hendak menambah pengertian dari kata “baptis” menjadi “melewati”? Jika para pemegang paham baptisan selam konsisten dengan pengertian mereka tentang hanya ada satu arti kata “baptis” maka jawaban yang diberikan di sini sungguh lemah dan terkesan dipaksakan. Mereka justru seharusnya mengakui bahwa kata “baptis” tidak selamanya berarti ditenggelamkan. Orang Israel tidak pernah tenggelam dalam awan. Yang terjadi adalah mereka ditudungi oleh awan. Tentang laut, juga mereka tidak pernah tenggelam di dalam laut. Mereka justru berjalan di tanah yang kering seperti kata Kel 14: 21-22 : “…. dan semalam-malaman itu TUHAN menguakkan air laut dengan perantaraan angin timur yang keras, membuat laut itu menjadi tanah kering; maka terbelahlah air itu. Demikianlah orang Israel berjalan dari tengah-tengah laut di tempat kering; sedang di kiri dan kanan mereka air itu sebagai tembok bagi mereka”.

Tentang ini Herlianto berkata : “Dalam kedua gambaran ini tidak tergambar bahwa mereka tenggelam dalam awan (seperti kalau kita naik pesawat dan masuk awan) atau laut (seperti kapal selam). Mereka hanya dinaungi oleh awan dan ketika menyeberangi laut pun mereka tidak basah (kecuali mungkin mengalami percikan embun) melainkan berjalan di tempat kering (Kel.14:16,29), tetapi yang basah kuyup dan tenggelam adalah tentara Mesir yang mengejar mereka (Kel.14:23-28)”. (Baptisan, Percik atau Selam, hal.3). Pendapat ini senada dengan Rayburn : “paling-paling mereka hanya terkena percikan” air dari “benteng air” yang ada di kanan-kiri mereka. (Rayburn, 24).

Albert Barnes dalam Barnes’ Notes hal 745 mengomentari ayat ini dengan berkata : “This passage is a very important one to prove that the word baptism does not necessarily mean entire immersion in water. It is perfectly clear that neither the cloud nor the waters touched them” (Text ini adalah text yang sangat penting untuk membuktikan bahwa kata baptisan tidak harus berarti penyelaman seluruhnya di dalam air. Adalah sangat jelas bahwa baik awan maupun air tidak menyentuh mereka). Lepas dari pengertian teologis di balik ungkapan ini, namun Paulus menyebutkan kedua peristiwa itu sebagai baptisan. Yang kita persoalkan bukanlah makna teologisnya tetapi arti katanya. Sekarang perhatikan juga Ibr 9:10 : “Karena semuanya itu, di samping makanan minuman dan pelbagai macam pembasuhan ("baptizmois"), hanyalah peraturan-peraturan untuk hidup insani, yang hanya berlaku sampai tibanya waktu pembaharuan”.

Kata “pembasuhan” di sini menggunakan kata bahasa Yunani "baptizmois" yang adalah bentuk datif dari kata "baptismos" yang berarti pembersihan, pembaptisan atau pencucian. Konteks ayat ini berbicara tentang ordinasi penyucian yang bersifat rohani dibandingkan dengan ordinasi penyucian yang bersifat duniawi dalam hal ini menunjuk kepada aktifitas dalam Kemah Suci orang Israel. Sekali lagi di sana dikatakan “pelbagai macam pembaptisan”. Jika kata “baptisan” hanya berarti penenggelaman atau penyelaman, maka biarkanlah kita bertanya : “Adakah upacara penyelaman atau penenggelaman dalam sistem ritualitas orang Israel di dalam Kemah Suci? Jelas tidak ada! Bahkan lebih daripada itu aktifitas penyelaman atau penenggelaman adalah sesuatu yang sangat asing dalam upacara agama orang Israel. Kalau begitu apakah yang dimaksudkan dengan pelbagai macam pembaptisan dalam ayat ini? Marilah kita melihat dalam konteks dekatnya yakni Ibr 9:13 : “Sebab, jika darah domba jantan dan darah lembu jantan dan percikan abu lembu muda menguduskan mereka yang najis, sehingga mereka disucikan secara lahiriah” (band. Bil 19), Ibr 9:19 : “Sebab sesudah Musa memberitahukan semua perintah hukum Taurat kepada seluruh umat, ia mengambil darah anak lembu dan darah domba jantan serta air, dan bulu merah dan hisop, lalu memerciki kitab itu sendiri dan seluruh umat” , dan Ibr 9:21 : “Dan juga kemah dan semua alat untuk ibadah dipercikinya secara demikian dengan darah”.

Ketiga ayat ini menunjuk kepada upacara agama dalam Kemah Suci orang Israel yang oleh penulis Surat Ibrani disebut sebagai “baptisan”. Tiga ayat itu semuanya menggunakan kata “percik”, itu berarti bahwa dalam bagian ini kata “baptis” dapat berarti pemercikkan dan bukan penyelaman atau penenggelaman yang adalah ide yang asing bagi orang Israel. Memang kalau kita memeriksa atau meneliti kata “percik” dalam ketiga ayat ini tidaklah menggunakan kata "baptizo" melainkan "rantizo". Mungkin inilah yang membuat Lukas Sutrisno dalam websitenya berkata : “Kata Baptis sebenarnya diambil dari kata "baptizo" yang berarti celup atau ditenggelamkan. Sedangkan percik itu bahasa Yunaninya bukan baptizo, tetapi "rantizo" atau dalam bahasa Inggrisnya sprinkle/sprinkling, sedangkan kata Baptis yang ditulis di Alkitab adalah baptizo bukannya rantizo.” (www.come.to/alfa-omega).

Untuk memahami hal ini kita perlu mengetahui terlebih dahulu bahwa kata “bapto” atau “baptizo” itu mengandung keunikan makna. Keunikan makna dari kata tersebut nampak dalam dua hal : (1) Penenggelaman atau penyelaman bukanlah satu-satunya arti dari kata “bapto” atau “baptizo”. Beberapa ayat yang telah diteliti sebelumnya memperlihatkan bahwa kata “bapto” atau “baptizo” bisa berarti membersihkan, membasuh, mencuci, memercik, mengguyur, dll. (2) Kata “bapto” atau “baptizo” bukanlah satu-satunya kata yang dipakai untuk penenggelaman atau penyelaman. Alkitab membuktikan bahwa ada banyak kata “tenggelam” yang tidak memakai kata “bapto” atau “baptizo” seperti dalam Mat 18:6 yang memakai kata "katapontisthe", Ibr 11:29 yang memakai kata "kateponthesan". Dengan melihat dua keunikan arti di atas, maka kita dapat katakan bahwa sebenarnya kata “bapto” atau “baptizo” itu adalah sebuah kata yang umum yang terdiri dari beberapa kata kerja sama seperti dalam dunia persepedamotoran, kita mengenal adanya merk Suzuki namun yang tergolong ke dalam Suzuki itu begitu banyak. Ada Suzuki Smash, Tornado, Shogun, Cristal, Satria, Bravo, dll. Jadi yang terkandung di dalam kata “bapto” atau “baptizo” itu antara lain : "katapontizo atau katapontizomai = tenggelam seperti Mat 18:6; Ibr 11:9; Mat 14:30, "rantizo" = percik dalam Ibr 9:13,19,21, "nipto" = mencuci, membasuh dalamYoh 13:10, "louo", "loutrou" = mandi dalam Efs 5:26; Yoh 13:10, "gemizo" = celup, mengisi, memenuhi dalam Mark 15:36 dan "duno" = membenamkan dalam Efs 4:26; Mark 1:37.

Dengan demikian kata “rantizo” yang muncul dalam ayat 13, 19 dan 21 dari Ibrani pasal 9 tidaklah cukup untuk menggugurkan kesimpulan yang telah kita ambil dari penelitian konteks yang sangat akurat. Mengapa? Karena kata “percik” ("rantizo") adalah termasuk ke dalam kategori “baptizo”. Dari beberapa ayat yang telah dibahas di atas baik dari penelitian konteks dekat maupun konteks jauhnya, penggunaan dan analisis kata atau bahasanya serta analisa budaya dan sistem religius orang Yahudi, maka kita seharusnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa kata “bapto” atau “baptizo” mempunyai makna unik dan jamak. Menyelamkan atau menenggelamkan bukanlah satu-satunya arti melainkan salah satu arti saja sebagaimana apa yang dikatakan oleh Herlianto : “Dalam bahasa Yunani, kata 'Bapto' artinya bisa 'mencelupkan di dalam atau di bawah' atau bisa juga berarti mencelupkan bahan-bahan untuk memberi warna baru, sedangkan 'Baptizo' bisa berarti 'membenamkan', 'menenggelamkan' atau 'membinasakan.' Tetapi, baptizo juga bisa berarti 'masuk di bawah' atau 'dipengaruhi', dan dalam suasana helenisme juga diartikan sebagai 'mandi' atau 'mencuci.'” (Herlianto, 1).

LAPORAN BACA TEOLOGI KOTEMPORER (Teologi Abu-abu; Pluralisme Iman, Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme Dalam Teologi Kristen)


Teologi Kontemporer

Judul buku      : Teologi Abu-abu; Pluralisme Iman, Tantangan dan Ancaman Racun

  Pluralisme Dalam Teologi Kristen

Pengarang       : Stevri Indra Lumintang, M.Th.

Penerbit           : Departemen Literatur YPPII. Malang, Jawa Timur.

Tahun              : 2000

Cetakan           : Pertama

Tebal               : 518 halaman

 

Bagian yang dilaporkan adalah halaman 141-157 dan 201-229.

Pada bab VI mengenai latar belakang bangkitnya kristologi abu-abu, penulis mengungkapkan persoalan kristologi menyangkut relasi peristiwa Yesus dan penulisan, relasi Yesus kepercayaan dan Yesus sejarah, relasi studi pribadi Yesus dan karya Yesus, titik berangkat kristologinya dan persoalan finalitas Yesus di Antara agama-agama dunia.

Mengenai persoalan relasi Yesus kepercayaan dan Yesus sejarah, penulis mengungkapkan bahwa pertanyaan mengenai dapatkah suau pengertian yang pantas mengenai Yesus didasarkan atas data sejarah ataukah harus disikapi dengan iman telah melahirkan berbagai respon kelompok liberal berupa penelitian Yesus Sejarah, kemudian dilanjutkan dengan lahirnya penelitian baru mengenai Yesus Sejarah, Yesus Seminar serta kemudian bangkit pula penyelidikan ketiga mengenai Yesus Sejarah. Penulis berpendapat bahwa Penyelidikan Yesus Sejarah adalah penyelidikan mengenai Yesus sejarah dengan menggunakan metode kritik Alkitab, dengan tokoh-tokoh seperti David Strauss, Ernest Renan, Adolf Von Harnack, dan Albert Schweitzer, yang  melihat Yesus sebagai manusia biasa saja yang rohani dan bermoral serta memiliki kebenaran-kebenaran iman. Pendekatan mereka adalah humanitas, pengalaman agamawi dan metode penelitian ilmiah.

Penyelidikan baru Yesus Sejarah dilaksanakan oleh Barth, Bultman dan Bornkamm. Penelitian ini menekankan transendensi dan kekuasaan Allah seta kebutuhan manusia akan penebusan di mana focus kekristenan adalah pada kerygma. Sedangkan penyelidikan ketiga Yesus Sejarah merupakan perpaduan metode dan model dari pelbagai macam disiplin ilmu yang berbeda yaitu sosiologi, antropoologi, sejarah dan ilmu perbandingan agama, selain  metode penelitian Alkitab. Penyelidikan ini lebiih menyoroti Yesus dalam konteks keYahudian-Nya abad pertama di mana Ia hidup dan melayani. Penulis berpendapat bahwa pada dasarnya penyelidikan mengenai Yesus Sejarah ialah tidak mempercayai Kitab Injil Kanonik sebagai sumber pemahaman tentang Yesus., mengabaikan aspek utama yaitu rohani; membuang semua unsur-unsur supernatural, menghilangkan mitos dari kekristenan, memandang Yesus sebagai manusia biasa yang baik dan bermoral tinggi dan patut diteladani oleh orang Kristen. Penulis berpendapat bahwa fakta ini sudah dan sedang merusak kekristenan dewasa ini.

Mengenai persoalan relasi studi pribadi Kristus dan karya Kristus, penulis menyatakan bahwa itu adalah persoalan memisahkan kristologi yang ontologis, yang menekankan pada pemahaman tentang siapakah Yesus dan kristologi yang fungsional, yang menekankan pada apa yang dikerjakan Kristus bagi manusia. Persoalan ini telah bermula sejak gereja purba sampai sekarang ini. Penulis menilai bahwa yang paling berantusias dengan kristologi fungsional ialah kaum pluralism, yang menekankan karya Yesus bagi manusia, bukan dalam arti penebusan tapi dalam arti pembaharuan social, dengan salah satu tokohnya adalah Choan-Seng Song. Penulis berpendapat bahwa pada hakekatnya, seorang teolog bahkan orang Kristen pada umumnya, tidak patut memisahkan pribadi dan karya Kristus dalam berkristologi. Memandang hanya satu sisi dari pribadi dan karya Kristus adalah bertentangan dengan hakekat atonemen Kristus.

Berkaitan dengan persoalan titik berangkat kristologi, penulis mengungkapkan ada dua titik berangkat atau dua metode pendekatan yaitu metode Kristologi dari atas (The Christology From Above), dikenal sebagai strategi dasar dan orientasi gereja abad permulaan, yang pada abad ke-20 dipakai Karl Barth, Rudolf Bultmann dan Emil Brunner. Yang kedua adalah Kristologi dari bawah, yang memulai dengan manusia Yesus dari Nazaret kemudian bertanya bagaimana caranya Ia menjadi Allah, dengan tokohya adalah Wolfhart Pannenberg. Penulis berpendapat bahwa yang benar adalah perpaduan kedua pendekatan tersebut seperti yang dilakukan C.H. Marshal, C.F.D. Moule dan M.F. Erickson.

Mengenai persoalan finalitas Yesus di antara agama-agama dunia, penulis mengungkapkan bahwa finalitas kristus menegaskan finalitas agama Kristen, mendapat tantangan justru dari kalangan Kristen sendiri karena adanya fakta pluralism agama dan tuntutan kerukunan hidup beragama. Pluralitas keagamaan semakin mendesak dan memilah kelompok Kristen eksklusif menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang semakin tertutup dan kelompok yang inklusif. Kelompok inklusif setidaknya memiliki tiga pendekatan terhadap pluralism keagamaan, yaitu Teosentris, Kristosentris, dan dialogis.

Pendekatan theosentris memfokuskan perhatian kepada Allah daripada pada Kristus, dan pernyataan-pernyataan Yesus yang bersifat theosentris. Tokohnya adalah Coward, Paul Tilick, John Hick dan Wilfres Cantel Smith. Pendekatan Kristosentris dengan dua model pendekatan yaitu model pendekatan Kristologi eksklusif yang dianut oleh teolog Injili dan yang kedua adalah model pendekatan Kristologi pluralisme, sebagai pendekatan terhadap agama-agama lain berdasarkan Kristologi yang mengganggap bahwa Yesus Kristus adalah penjelmaan Allah yang unik. Penulis mengganggap pada dasarnya pendekatan Theosentris dan Kristosentris yang pluralis adalah pendekatan yang mengabaikan kebenaran Firman Tuhan dalam Yohanes 3:16, 36 dan berusaha untuk diterima dalam sosialisasinya dengan agama-agama lain, namun rela membuang keunikan dan kefinalitasan Yesus, kebenaran-kebenaran iman Kristen yang hakiki.

Pendekatan dialogis dipelopori oleh tiga teolog Asia, yaitu Stanley Samartha, Raimundo Panikkar dan Choan-Seng Song yang menempuh pendekatan ini karena diwarnai oleh latar-belakang kehidupan pribadi yang hidup sebagai kelompok minoritas. Penulis berpendapat bahwa konsep dari pendekatan dialogis ini adalah pendekatan yang sangat kompromistis yang merusak sendi-sendi Kekristenan yang utama, memaksa orang Kristen untuk menyembunyikan finalitas Yesus dan kemutlakan kebenaran Alkitab, serta memaksa orang Kristen untuk mengakui adanya kebenaran di luar Yesus, yaitu kebenaran yang diperoleh melalui mempelajari kebenaran agama lain.

Mengenai usulan kaum pluralis dalam berdialog, penulis memaparkan pendapat Choan-Seng Song yang megangkat tujuh tahap untuk mencapai pertobatan dialogis yaitu langkah-langkah praktis dialog sampai pada puncaknya yaitu kehidupan bersama dengan mitra dialog. Tahap pertama adalah mengalami perasaan dalam agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan; memahami agama lain dari sudut pandang agama itu sendiri. Tahap kedua adalah proses identifikasi yaitu pencarian hal-hal yang kita kenal di Antara yang asing. Tahap ketiga adalah terbuka dan melihat persekutuan orang-orang bukan Kristen dengan Allah dan sesama. Tahap keempat adalah mengalami kehidupan bersama secara mendalam dimana kita belajar bahasa mereka, memberi perhatian kepada semantic mereka, tanggap terhadap nuansanya dan paham akan cerita mereka.

Tahap kelima, mengakui kebodohan bahwa kita belum memahami agama-agama lain. Tahap keenam adalah tahap pengakuan kebodohan, penilaian kembali yang radikal terhadap diri sendiri dan melakukan perjanjian iman. Tahap ketujuh adalah berbalik dari memakai dialog sebagai alat untuk mengubah iman dan kepercayaan lain dan melangkah masuk ke dalam  kehidupan mitra-mitra berdialog. Menurut penulis, semua konsep dan metode dialog kaum pluralis adalah sangat berbahaya bagi misi Kristen, bukan hanya melemahkan dan melumpuhkan melainkan juga mematikan misis Kristen.

Pada bab IX mengenai penginjilan dalam konteks masyarakat majemuk, penulis memberikan kontribusi pemikiran dengan menegaskan bahwa pluralisme adalah tantangan sekaligus peluang. Sementara misi alkitabiah berangkat dari Missio Dei, dan misi Kristen berbicara tentang peran orang Kristen dalam pelaksanaan amanat misi Allah, yaitu penebusan oleh Yesus Kristus yang dikerjakan-Nya secara sempurna di kayu salib.

Penulis mengungkapkan dialog yang teologis sebagai tugas gereja, amanat dari Allah yang telah, sedang dan akan berdialog dengan manusia melalui Alkitab sebagai Firman Allah. Sebagai tugas gereja, dialog dapat diterapkan sebagai upaya mengantisipasi konflik antar agama dan upaya menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa. Dialog formal yang dibangun melalui konferensi atau pertemuan-pertemuan resmi antar agama tidaklah efektif untuk pekabaran Injil. Sementara dialog non-formal yang dibangun melalui pendekatan persahabatan atau persaudaraan dengan orang beragama lain masih relevan sebagai jembatan pekabaran Injil. Perlu ada pemahaman ulang mengenai istilah dialog dengan tidak boleh mengabaikan proklamasi Injil Yesus Kristus yang lahir dari inti Injil yaitu finalitas Yesus dimana dialog antar pribadi lebih efektif daripada dialog antar kelompok. Dialog ini harus diawali dengan dialog kehidupan. Penulis juga menegaskan bahwa dalam misi penginjilan yang kontekstual, membangun persekutuan dengan orang bukan Kristen, bukan sebagai tujuan misi Kristen melainkan sebagai pendekatan untuk proklamasi Injil. Konstekstualisasi tersebut seperti yang dicontohkan Paulus.

Pada halaman 213-233 penulis memaparkan mengenai teologi abu-abu yang dianut Choan-Seng Song. Pada bab X dijelaskan mengenai latar belakang teologi abu-abu C.S Song, latar belakang pribadi, tinjauan umum teologinya dan sumber teologinya serta pengaruhnya di Indonesia.

Choan-Seng Song adalah seorang teolog Presbiterian dari Taiwan yang belajar di National Taiwan University, dan melanjutkan studinya di New College Edinburgh dan Union Theological Seminary di New York. Ia bekerja sebagai professor Teologi Sistematika merangkap pimpinan Tainan Theological College pada tahun 1976-1977, dan sebagai guru besar tamu pada Princeton Theological Seminary. Kemudian menjadi salah seorang direktur secretariat Komisi Iman dan Tata Gereja Dewan Gereja se-Dunia di Jenewa Swiss. Song menjadi professor untuk bidang teologi dan kebudayaan-kebudayaan Asia pada Pasific School of Religion, Berkeley, California, USA dan bekerja di World Council of Churches and World Alliance of Reformed Churches di Jenewa.

C.S. Song adalah seorang pelopor bagi teologi konteks Asia, yang mendukung dan menganjurkan cara-cara berteologia Asia dengan memanfaatkan sumber-sumber dan pengertian-pengertian Asia. Beberapa bukunya misalnya, “From Israel to Asia, A Theological Leap”, An Asian Attempt, Third-Eye Theology: Theology in Formation in Asian Settings, The Compassionate God, The Tears of Lady Meng: A Parable of People’s Political Theology, The Crucified People, Tell Us Our Names dan sejumlah tulisan lainnya.

Penulis memberikan pendapatnya mengenai metode pendekatan Song bahwa pendekatan kristologi Song adalah sama dengan semua pendekatan Kristologi kaum pluralis, yaitu menekankan pada Kristologi Fungsional yang melihat Allah dari sudut manfaat, seperti Allah mengasihi, memberi hidup kepada manusia. Mengenai konsep soteriologis, Song menolak sejarah keselamatan yang linier dan sempit, yang Kristosentris, atau dengan kata lain menolak finalitas Yesus, humanistis dan sama dengan konsep Pelagius serta Arminian.

Mengenai konsep Kristologis, Song menekankan kemanusiaan Yesus, sebagai manusia biasa yang didiami oleh Allah, pandangan yang sama dengan para tokoh liberal kuno seperti Albert Schweitzer, Albrecht Ritschl, Adolf Von Harnack. Mengenai konsep misiologis, Song menekankan Kerajaan Allah, misi kasih, dan bukan kebenaran. Konsep Misi Song menurut penulis adalah konsep misi humanis dan bukan Alkitabiah. Sementara itu, berkaitan dengan metodologi yang dialogis, Song menyetujuinya sebagai perjumpaan sejati dengan orang, kepercayaan dan ideology lain dan menemukan ada jalan lain untuk mengenal kebenaran; pandangan yang sama dengan pandangan kaum pluralis.

Sumber teologi abu-abu dari C.S. Song adalah dari lingkungan hidupnya sebagai orang Asia dengan kemajemukan agama dan kebudayaan. Latar belakang studinya juga berpengaruh besar. Selanjutnya adalah pengalaman hidup dan studi terhadap para teolog sekularis dan liberalis seperti filsafat Chuang Tzu dan Hui Tzu, John Macquarrie, Harvie Cox, John A.T. Robinson serta teolog-teolog pluralis seperi Joachim Jeremias. M.M Thomas, Leslie Newbigin, Kosuke Koyama, C.H. Hwang, Masao Takenaka, Stanley Samartha dan Dr. Ans van Bent.

Teologi abu-abu C.S. Song cukup besar pengaruhnya di Indonesia. Banyak bukunya beredar di Indonesia, yang dipakai di toko buku Kristen dan perpustakaan sekolah teologi, atau dengan kata lain dianggap bermanfaat bagi pengajaran teologi di Indonesia.

Dari pemaparan ini penulis sangat mengkritisi pengaruh pluralisme dan menyatakannya sebagai hal yang berbahaya bagi teologi dan iman Kristen. Semakin jelas digambarkan bahwa teologi pluralis berangkat dari konteks. Pandangan penulis sama dengan pandangan adiknya, Ramly Lumintang yang mengungkapkan bahwa teologi yang dibangun atas konteks akan kemudian hilang sejalan perubahan konteks.



by : James Theopilus Mahasiswa SEKOLAH TINGGI TEOLOGI BANDUNG

Rabu, 16 November 2022

APA POIN PENTING DARI PERJALANAN PAULUS YANG KE 2 ?



Dalam perjalanan Paulus yang kedua ini dimana setelah sidang di Yerusalem Paulus melanjutkan perjalanannya dalam memberitakan Injil. Namun, dalam melanjutkan perjalanan ini Paulus tidak lagi bersama Barnabas. Barnabas tidak ikut serta, sebab Paulus tidak memberi kesempatan kedua bagi Yohanes Markus (poin Leadership) di sini Paulus bukannya tidak lagi mempercayai Yohanes Markus namun, sikap mereka yang tidak menunjukkan keniatan dalam perjalanan pertama membuat Paulus tidak lagi memberi kesempatan (1 Tim 3:1). Meskipun demikian Paulus melanjutkannya dengan Silas dan dalam perjalanan  di Listra Timotius ikut bergabung dengan mereka serta Lukas yang bergabung di Troas. Dalam perjalanan ini Paulus membuat rencana bahwa dia akan pergi ke Asia namun, hal ini tidak dikehendaki Roh Kudus (poin mengikuti kehendak Allah) pada saat mereka di wilayah Asia kecil dekat Eropa, Paulus bermimpi dimana ada seorang Makedonia yang meminta tolong. (poin rasa kepedulian Paulus) Hal ini diartikannya sebagai petunjuk dari Allah. Dan setibanya disana yaitu di kota Filipi, yang sebelumnya Paulus merasa ragu akan perjalanan ini semuanya sirna dengan adanya pertobatan, yaitu Lidia. Ini merupakan jembatan sehingga terbentuknya jemaat Kristen yang cukup besar.  Namun tidak sampai disini saja, bahkan ada perempuan yang rasuki roh tenung yang terus mengganggu Paulus dan ini menjadi kesempatan bagi Paulus untuk memberitakan tentang Kristus yang membebaskan tawanan. Tetapi setelah perempuan itu bebas dari roh tenung itu, tuan-tuan yang memperoleh penghasilan dari perempuan itu menjadi marah sebab Paulus telah memberikan ajaran yang menurut mereka tidak boleh dituruti orang Romawi. Sehingga konflik ini membuat Paulus dan Sikas masuk penjara. Tetapi mereka tidak patah semangat, bahkan saat terjadi gempa bumi ada peluang mereka untuk melarikan diri sama seperti tahanan lainnya, tetapi itu tidak dilakukan mereka. Tindakan mereka ini malahan membuat kepala penjara heran dan menanyakan kuasa yang mereka miliki setelah itu kepala penjara itu masuk kristen bersama keluarganya (poin mempergunakan waktu dan keadaan untuk memberitakan Injil). Melalui kejadian ini Paulus sadar akan statusnya sebagai warga Roma dan akhirnya mereka dibebaskan, dan melanjutkan perjalanan. Namun, dalam perjalanan selanjutnya Lukas tidak lagi turut serta sebab dia tinggal untuk mengurus orang-orang Kristen baru. (poin dalam memberitakan Injil perlu adanya variasi).


Senin, 14 November 2022

IDE KEPENULISAN SURAT KOLOSE


1.      Mengenal Identitas Kristus (Kolose 1:15-23)

Identitas adalah ciri-ciri atau keadaan khusus. Kita sebagai anak-anak Allah dituntut untuk mengenal Kristus sebagai Tuhan dan juruslamat. Sebagai anak kepada Bapa harus memiliki ikatan atau sebuah penghubung yang kuat. Karena tidak cukup hanya Allah mengenal anak-anaknya namun sebagai anak-anaknya juga harus perlu mengenal kepribadian, identitas Allah. Sangat perlu mengenal identitas Kristus demi pertumbuhan iman dan hubungan yang kuat antara kita dengan Kristus. Ada tiga poin dalam mengenal idedintas Kristus yaitu:

1.      Kristus adalah gambar Allah yang tidak kelihatan (kolose 1:15), bahwa keberadaan dan kesempurnaan Allah secara akurat digambarkan dan diwakilkan oleh Kristus atau berada dalam Kristus. Disini Kristus bukan hanya sekedar inkarnasi karena beberapa menegaskan Dia sebelum berinkarnasi bahwa keberadaannya adal
ah kekal, pewarisannya akan alam semesta, dan kegenapan berdiam dalam dirinya. Sebab itu Allah yang tidak kelihatan adalah Yesus Kristus.

2.      Kristus adalah pencipta bukan ciptaan (kolose 1:16), seluruh aktivitas kreatif yang dirangkum dalam Kristus termasuk para malaikat dan segala sesuatu yang ada dibumi Allah juga ikut mengerjakan proses penciptaan. Kristus masuk untuk menciptakan. Kristus terlebih dahulu dari segala sesuatu, selain Kristus gambar Allah yang tidak kelihatan, dia juga adalah pewaris dari segala yang diciptakannya.

3.      Kristus adalah yang utama sebab Kristus adalah kepala tubuh yang pertama bangkit dari antara orang mati dan sebagai pendamai (kolose 1:17). Tubuh Kristus diidentifikasikan sebagai gereja dan kepala Kristus untuk menopang gereja. Dengan menempatkan gereja sebagai tubuh Kristus maka gereja menjadi tempat di mana pekerjaan pendamaian yang Allah lakukan dapat di lihat sebagai suatu realitas yang mendamaikan melalui Kristus dapat bersekutu.

 

2.      Hidup Orang Pilihan (Kolose 3:5-17)

Paulus menyebut orang-orang pilihan Allah adalah hidup kudus. Orang-orang pilihan Tuhan dikuduskan dan dikasihi. Ada dua tujuan penting Paulus menuliskan surat ini yaitu

1.      Orang-orang Kolose dikuatkan karena pada saat itu banyak pnyesatan terjadi disana.

2.      Memberikan panduan atau tuntunan praktis bagaimana harus hidup seorang Kristen.

Orang pilihan Allah harus betul-betul memperhatikan bagaimana hidup sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Tuhan. Ciri-ciri orang yang hidup sebagai orang pilihan Tuhan yaitu :

1.      Menanggalkan manusia lama serta kelakuannya, dan harus mengenakan manusia baru yang selalu diperbahaharui supaya memperoleh pengetahuan segala yang benar.

2.      Orang-orang pilihan Tuhan harus mengenakan belas kasihan, kemurahan , kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran.

3.      Orang-orang pilihan Tuhan hendaklah di dalam hatinya damai sejahtera sebab kita elah dipanggil menjadi satu tubuh.

4.      Setiap perkataan Tuhan biarlah kiranya berdiam dalam hati kita, sehingga memperoleh hikmat  dan selalu mengucap syuur kepada Tuhan.

 

3.      Berbuat Untuk Tuhan  (kolose 3:23)

Segala sesuatu yang baik dan benar dilakukan oleh setiap pribadi Kristiani maupun kelompok termasuk di saat memenuhi tugas tanggungjawab dalam berbagai profesi bahkan status baik sebagai anggota-anggota keluarga, siswa di sekolah, guru, dosen, pendeta, pegawai, pejabat dan pembantu rumah tangga sekalipun tunaikanlah semua itu hanya untuk Kristus TUHAN bukan untuk dunia ini, diri sendiri maupun manusia dan segala sesuatu yang dilakukan berdasarkan iman (untuk Tuhan) pasti akan memperoleh upah(bayaran), dimana besaran upah tersebut tidak dapat disamakan apa lagi dibandingkan dengan nilai nominal maupun harta duniawi, yaitu upah yang akan diberikan Tuhan kepada setiap orang yang setia berbuat hanya untuk Tuhan sepanjang perjalanan hidupnya di dunia yang fana ini. Dan tetaplah ingat bahwa setiap jerih payah dan pengorbanan karena berbuat untuk Tuhan tidak akan pernah sia-sia. Segala perbuatan yang ditujukan untuk mempermuliakan Tuhan dalam berbagai kebajikan itu sama dengan berinvestasi di sorga dan pasti akan menikmati hasilnya sebab Tuhan setia dengan segala janji-janji firman-Nya.