UNTUK KITA
Belajar Alkitab adalah hal yang sangat menyenangkan, Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.
Minggu, 11 Juni 2023
LAPORAN BACA CARA BERKHOTBAH YANG BAIK
Rabu, 14 Desember 2022
Stop LGBT, LGBT merangkai duka
Stop LGBT, LGBT merangkai duka |
LGBT merangkai duka
DULU TAKUT MENJAGA ANAK PREMPUAN.., TAPI SEKARANG LEBIH TAKUT LAGI MENJAGA ANAK LAKI2...
(Tulisan dr. Ani Hasibuan, ahli syaraf di RSCM. Semua tulisannya di'banned' oleh FB, karena semua seputar bahaya LGBT)
Sekedar berbagi cerita dari poli saraf utk para orang-tua, spy kita semakin gencar menjaga lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal & sekolah.
》 Sejak 1997 sy berurusan dg para gay. Smpai hari ini, belum pernah absen. Mereka pasien terbanyak HIV yg sy tangani. Yg hidup tinggal beberapa sih. Barusan suster sy lapor ada lagi yg meninggal 3 hari lalu, dg kriptokokus meningitis (infeksi jamur di otak)
Dari pengamatan sy, Gay itu ada “kasta”nya.
Ada yg dominan, biasanya yg punya uang & lbh tua secara umur, ada yg submissif, klo sy perhatikan, semacam “piaraan”. Piaraan ini berkasta juga, ada anak muda putih bersih klimis dari kalangan keluarga menengah, ada juga yg kelas sandal jepit (bukan yg harga 18 ribu ya...๐).
Perlakuan dari yg dominan pd piaraan juga berbeda, sesuai KW si piaraan. Yg KW ori diperlakukan sgt istimewa. Waktu sy kerja di klinik HIV RSCM, pernah dpt pasien mhsw univ swasta terkenal di Jakarta yg kena meningitis kriptokokus (jamur otak). Orang tuanya pekerja petrol, tinggal di Dallas, US. Dia disini tinggal sendiri. Anaknya tampan, klimis & kelihatan anak baik. Sang Dominan sering ikut mengantar klo kontrol. Jangan kaget ya, dominannya ini seorang AKTIVIS LSM ANTI-HIV. Itu klo si pasien sy ini mengeluh sakit kepala, si dominan ini mengelus2 punggung si submissif smbil bilang “sakit ya sayang? Yg mana yg sakit? Sabar ya sayang..” (untung sy msh setia pd sumpah hipocrates, klo sy berkhianat, si dominan itu mau sy suntik fentanyl 1000 cc biar mokat, mmpus..!).
Tapi sy pernah juga dpt seorang dominan yg kena infeksi di medulla spinalis, spondilitis TB, jd lumpuh kedua kakinya tiba2. Pas dirawat, submissifnya datang menemani. Itu dibentak2, gak ada sayang2. Si submissif ini tampilannya sih kelas sandal jepit, manggil dominannya "abaaaang...” (jijik ya dengarnya)
Ada juga piaraan bayaran. Satu pasien sy asal Jogja (skrg sdh meninggal dg toksoensefalitis; bisul di dalam otak krn kuman tokso yg srg nempel di badan kucing, anjing) mengaku dia bayaran. Dipiara seorang laki2 cina utk bayaran 1000 smp 2000 USD per bulan. Uang nya dia kirim ke Jogja utk anak & istrinya...๐ฉ. Dia ini sejatinya bukan gay, jd semacam pelacur lelaki (gigolo) yg kerja sbg caddy lelaki di satu lapangan golf di Tangerang. Waktu ketahuan hiv & tokso, nangis meraung2, selama dirawat baca Qur’an terus, kalau sy periksa, slalu terisak2 & bilang menyesal. Pas ketemu bininya, sy yg berkaca2. Sebab bininya perempuan berhijab rapi dg dua balita yg juga berhijab.
Ada juga gay kakak adik. Sejak kecil dikasih satu kamar dn satu ranjang oleh emak bapaknya. Pas gede, tau2 yg kakak kena kripto. Dicek hiv positif, ditanya pasangannya siapa, dia bilang adiknya. Pas adiknya dicek, positif juga hiv nya. Kedua2nya sdh meninggal, dlm satu ruang rawat yg sama. Ayahnya smpe anak2 itu dikubur pun gak pernah mau datang nengok...
Hati2 dgn anak2, *ajarkan mereka utk bertindak agresif klo ada yg coba2 menggoda (gay)*, jangan kasih ampun, langsung pukuli beramai2..!!
Pengalaman sy dari anak2 yg kena goda para penyuka anus ini mereka makin agresif klo yg digoda diam atau menunjukkan rasa takut. Tapi langsung berhenti klo yg digoda langsung main fisik.
(Beberapa anak muda yg digoda gay konsultasi ke sy bersama ortunya).
Bila anak bepergian, jangan ijinkan kalau sendirian...! Usahakan be-ramai2, spy nyalinya tdk ciut klo ada gay yg dtg menggoda. Mereka bisa tawarkan apa sj, bisa uang, bisa bujuk rayu, bisa ancaman.
Dari wawancara dgn pasien2 gay, mereka ini tadinya SEMUA pernah mengalami anal seks, sebagian besar secara paksa. Setelahnya mereka akan sngat dijaga & ditemani oleh kelompok gay. Pergaulannya diganti jd pergaulan gay, dst.
Cerita tntang GAY, semua berakhir TRAGIS...!!! Belum pernah sy dengar yg berakhir spt di cerita fairytopia... misalnya berakhir kayak Cinderella..., happily ever after.... Kisah para gay berakhir dengan tokso, kripto, TB, pnemonia, kandida, dan diujungnya, mati sendirian tanpa didampingi kaum-nya......
Semoga bermanfaat..๐
Bila Anda menganggap bhw tulisan ini bagus dn perlu diketahui oleh banyak orang, tolong bagikan kpd teman, kerabat serta handai-taulan yg lain, demi menyelamatkan generasi penerus bangsa.... ๐ฎ๐ฉ๐ฎ๐ฉ✊๐ป✊๐ป✊๐ป
Terimakasih dr.Ani Hasibuan semoga informasi ini dpt menginspirasi para ortu yg awam tentang LGBT
๐Bagus untuk dishare. Agar para orang tua lebih tahu dan kian wasapada thd fenomena LGBT yg ada di sekitaran kita dan (kalau tidak diantisipasi) bisa menerpa kpd keluarga manapun.
Semoga bermanfaat
Kamis, 17 November 2022
APAKAH “BAPTIS” SELALU BERARTI DISELAMKAN?
APAKAH “BAPTIS” SELALU BERARTI DISELAMKAN? |
Oleh : Pdt. Esra Alfred Soru, S.Th, M.PdK
Persoalan tentang baptisan
Kristen (baptisan air) adalah persoalan yang klasik, unik dan kontroversial.
Mengapa? Karena masalah ini bukanlah masalah yang baru. Pergumulan-pergumulan
tentang baptisan bukanlah hal yang baru di dalam gereja kita di dunia ini. Hal
ini telah menimbulkan masalah sejak gereja berada dalam dunia ini. Salah satu
contohnya adalah kaum Novatianus (abad 3 AD) yang berkeberatan untuk menerima
kembali orang Kristen yang pernah murtad ke dalam gereja. Mereka sangat
memelihara kemurnian jemaat dan karena itu barangsiapa yang menggabungkan diri
dengan mereka haruslah dibaptiskan kembali karena menganggap bahwa baptisan
yang telah mereka peroleh sebelumnya tidak sah.
(A.A. Yewangoe, Tentang
Baptisan (Artikel-Dokumen 1), hal.1). Dalam masa-masa selanjutnya, perdebatan
di sekitar masalah ini semakin sengit di kalangan gereja-gereja maupun
teolog-teolog. Robert G. Rayburn berkata bahwa tidak ada doktrin dalam Alkitab
yang sedemikian banyak perbedaannya, atau yang sedemikian disalahmengerti di
dalam gereja Kristen selain doktrin baptisan air. (Apa itu Baptisan?;1995, hal.
5). Secara umum titik perdebatannya terletak pada dua hal yakni cara baptisan
dan siapa yang layak dibaptiskan. Sebagian orang/gereja meyakini dan
melaksanakan baptisan dengan cara percik, sebagian lagi dengan cara
diselamkan/ditenggelamkan.
Tentang siapa yang layak
dibaptiskan, sebagian orang/gereja menolak praktek baptisan anak (Infant
Baptism) dan sebagian lagi menerimanya. Manakah yang benar di antara keduanya?
Adakah dasar Alkitabiah yang cukup kuat bagi praktek baptisan percik dan
baptisan anak yang seringkali menjadi persoalan atau dipersoalkan? Kita akan
menelaahnya dan memeriksanya dari Alkitab dalam beberapa hari ini. Hal pertama
yang seringkali menjadi persoalan adalah pendapat yang mengatakan bahwa
baptisan yang benar adalah baptisan selam karena kata “baptis” itu dalam bahasa
Yunaninya "bapto" atau bentuk kata kerjanya "baptizo"
berarti “selam” atau “ditenggelamkan” dan ini adalah satu-satunya arti dari
kata tersebut sebagaimana kata Jeremia Rim dalam buku pelajaran “Dasar
Kekristenan Yang Kokoh” (Gereja Kristen Perjanjian Baru) hal 16 : “Kita melihat
adanya berbagai macam cara pembaptisan.
Namun sebenarnya Alkitab
hanya mengajarkan satu macam cara pembaptisan, yaitu dengan cara diselamkan ke
dalam air. Kata baptis sendiri dalam bahasa Gerika "bapto", artinya
ditenggelamkan” demikian juga Derek Prince : “Jika “bapto” berarti mencelupkan
sesuatu ke dalam cairan, kemudian mengeluarkannya kembali, maka “baptizo” pasti
hanya mempunyai satu arti, yaitu membiarkan sesuatu dicelupkan ke dalam suatu
cairan, kemudian mengeluarkannya kembali. Singkatnya, “baptizo” (dari mana
berasal kata “baptis” dalam bahasa Indonesia) berarti membiarkan sesuatu
dicelupkan” (Dari Sungai Yordan Sampai Hari Pentakosta, hal. 13).
Untuk menguatkan dan
membuktikan ketunggalan arti dari kata “baptis” itu maka selanjutnya Prince
memaparkan penggunaan kata “bapto” atau “baptizo” itu dalam literatur sekuler
Yunani dari segala zaman mulai dari abad ke lima atau ke empat sebelum Masehi.
Ia mengutip perkataan Plato, Hippocrates, Strabo, Flavius Josephus dan
Plutarch, dan akhirnya ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa : “Berdasarkan
penyelidikan yang singkat ini, kita melihat jelas bahwa kata Yunani “baptizo”
selalu mempunyai arti yang sama, yang tidak pernah berubah sepanjang masa.
Mulai dari bahasa Yunani klasik sampai pada bahasa Yunani Perjanjian Baru. Kata
itu tidak pernah berubah maknanya, yaitu : “membiarkan sesuatu dicelupkan”,
“membenamkan sesuatu di bawah permukaan air atau cairan yang lain”. (Prince,
15). Tentu menarik apa yang dikatakan dan dikemukakan oleh Prince, namun
sayangnya adalah di dalam memberikan pengertian dasar dari kata “bapto” atau
“baptizo” ini, Prince banyak mengutip pendapat dan penggunaan kata ini dalam
literatur sekuler Yunani namun hanya mengutip beberapa ayat Alkitab dan itu pun
dengan penjelasan yang sangat singkat (Prince, 11-12) padahal jika diteliti
dengan seksama dalam teks bahasa Yunani, kata tersebut digunakan sangat banyak
dalam berbagai bagian Alkitab khususnya PB.
Apa yang dikemukakan
Prince cukup dapat dipertimbangkan, namun pertanyaan bagi kita adalah cukupkah
sampai di situ? Apakah tidak ada arti yang lain lagi dari kata itu? Karena itu
bersama dengan Rayburn saya hendak berkata : “Daftar mereka yang panjang
tentang contoh-contoh yang dipergunakan dalam literatur sekuler Yunani adalah
sangat penting. Kata-kata dari para ahli kamus yang ternama cukup memenuhi
syarat, dan butir-butirnya cukup bisa diterima. Tetapi ketika itu sudah
diterima, kita harus melanjutkannya dengan bertanya adakah arti yang lebih
tepat lagi, dan digunakan pada kata itu selain daripada pengertian tersebut,
demikian juga mereka yang sungguh terhormat harus setuju bahwa ada arti yang
lain”. (Rayburn, 22).
Ada arti yang lain?
Benarkah demikian? Jawaban bagi pertanyaan ini haruslah bersumber dari Alkitab
sebab Alkitab adalah satu-satunya dasar yang obyektif dari semua pemahaman.
Untuk itu baiklah kita meneliti beberapa ayat Alkitab yang berkaitan dengan
masalah ini. Dalam Mark 7 :4 dikatakan : “dan kalau pulang dari pasar mereka
juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan
("baptizontai") dirinya. Banyak warisan lain lagi yang mereka pegang,
umpanya hal mencuci ("baptizmous") cawan, kendi dan perkakas-perkakas
tembaga”. Perhatikan baik-baik, dalam teks Yunani kata “membersihkan”
menggunakan kata "baptisontai" sedangkan kata “mencuci” menggunakan
kata "baptismous". Kata "baptisontai" adalah bentuk present
indikatif pasif dari kata dasar "baptizo" sedangkan kata
"baptismous" adalah bentuk akusatif dari kata "baptizmous"
yang berasal dari kata dasar "bapto" dari mana kata “baptis” berasal.
Jadi rupanya kata “baptis” juga dapat berarti membersihkan atau mencuci.
Kalau kita hendak berkata
bahwa kata ‘baptis’ hanya berarti menyelamkan/menenggelamkan, maka rasanya aneh
sekali kalau setiap kali hendak makan orang Yahudi harus menenggelamkan dirinya
maupun cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga ke dalam air. Hal ini lebih
tidak masuk akal lagi apabila kita melihat terjemahan KJV : “And when they come
from the market, except they wash, they eat not. And many other things there
be, which they have received to hold, as the washing of cups, and pots, brasen
vessels, and of tables” (Dan pada waktu mereka pulang dari pasar, kecuali
mereka mencuci, mereka tidak makan. Dan banyak hal-hal lain yang mereka terima
untuk dipegang, seperti pencucian cawan, belanga/panci, bejana/tempat dari
tembaga, dan meja-meja). Jadi rupanya meja-meja juga dibaptis. Seandainya
baptis hanya berarti menenggelamkan, maka sebelum makan orang Yahudi harus
terlebih dahulu menenggelamkan meja-meja juga. Tentu ini tidak masuk di akal.
Perhatikan juga Luk 11:38 :
“Orang Farisi itu melihat hal itu dan ia heran, karena Yesus tidak mencuci
("ebaptizthe") tangan-Nya sebelum makan”. Kata "ebaptizthe"
yang dipergunakan di sini adalah bentuk aorist pasif dari kata dasar
"baptizo". Dalam bagian ini berarti mencuci. “Mencuci (membaptis)
tangan sebelum makan”. Jika kata “baptis” hanya berarti ditenggelamkan, maka
seharusnya Yesus menenggelamkan tangan-Nya sebelum makan. Jika saudara-saudara
pemegang paham baptisan selam konsisten dengan pengertian mereka tentang kata
“baptis” yakni menenggelamkan seluruhnya, maka seharusnya sebelum makan Yesus
menenggelamkan seluruh tangannya. Saya kira ini adalah aktifitas yang tidak
mungkin. Perlu diketahui juga bahwa tradisi mencuci tangan ini dalam kebudayaan
Yahudi berhubungan dengan penyucian dari kemungkinan kenajisan. Dan
bagaimanakah tradisi ini dilakukan? Simaklah penjelasan William Barclay :
“Menurut hukum itu sebelum makan tangan harus dicuci dengan hukum-hukum yang
sangat mendetail. Dengan sengaja disimpan air khusus untuk keperluan tersebut
sebab air biasa dikuatirkan tidak bersih.
Air yang dipakai paling
kurang sebanyak satu perempat dari batang bambu. Pertama-tama air itu harus
dituangkan ke atas tangan dimulai dari jari kelingking dan terus sampai ke
pergelangan. Kemudian telapak tangan haruslah dibersihkan dengan menggosokkan
genggam yang satu kepada yang lainnya. Akhirnya sekali lagi air dituangkan ke
atas tangan, kali ini dimulai dari pergelangan dan berakhir pada ujung-ujung
jari”. (Pemahaman Alkitab Setiap Hari (Lukas), hal. 224). Dari tradisi ini kita
ketahui bahwa air untuk mencuci (membaptis) tangan ini hanya sedikit saja dan
ditaruh di dalam bambu, juga aktifitas pencuciannya selalu dilakukan dengan
cara dituangkan. Dengan demikian arti kata “baptis” yang digunakan di sini
lebih kepada dituangkan dan bukan ditenggelamkan atau diselamkan. Bagaimana
mungkin orang menenggelamkan seluruh tangannya ke dalam sedikit air dalam
bambu? Mat 26:23 : “Ia menjawab: “Dia yang bersama-sama dengan Aku mencelupkan
("embapsas") tangannya ke dalam pinggan ini, dialah yang akan
menyerahkan Aku”. Kata “mencelupkan” dalam ayat di atas menggunakan kata bahasa
Yunani "embapsas" yakni bentuk nominatif partisif aorist aktif dari
kata dasar "embapto" yang berarti mencelupkan ke dalam. Jadi ayat ini
seharusnya berbunyi : “Dia yang bersama-sama dengan Aku membaptis tangannya ke
dalam pinggan ini, dialah yang akan menyerahkan Aku”. Perhatikan baik-baik
kalimat ini! Di sini dikatakan “membaptis tangan”. Jika arti kata “baptis”
hanyalah ditenggelamkan atau diselamkan, itu berarti bahwa harus menenggelamkan
seluruh tangan ke dalam pinggan (Bandingkan dengan penjelasan Luk 1 :38 di
atas).
Bagaimana mungkin
menenggelamkan seluruh tangan ke dalam sebuah pinggan? Satu ayat lagi yang
memaksakan kita menerima kejamakan art dari kata “baptis” itu yakni 1 Kor 10
:1-2 : “Aku mau, supaya kamu mengetahui, saudara-saudara, bahwa nenek moyang
kita semua berada di bawah perlindungan awan dan bahwa mereka semua telah
melintasi laut. Untuk menjadi pengikut Musa mereka semua telah dibaptis
("ebaptizthesan") dalam awan dan dalam laut”. Kata “dibaptis” dalam
ayat ini menggunakan kata Yunani "ebaptizthesan" yakni bentuk aorist
indikatif pasif dari kata dasar "baptizo". Ayat ini dengan jelas
menyatakan bahwa orang Israel dibaptis dalam awan dan dalam laut. Awan dan laut
yang dihubungkan dengan kehidupan orang Israel ini jelas menunjuk kepada dua
peristiwa pada masa exodus (keluaran) di mana orang Israel dilindungi oleh
Allah dengan tiang awan pada waktu siang hari (Kel 13:21-22; 14:19) dan juga
pada saat mereka menyeberang laut Teberau (Kel 14:21-22).
Hal ini dijelaskan dalam
ayat 1 dari I Kor 10. Perhatikan dengan seksama, perlindungan awan dan
penyeberangan laut dilihat oleh Paulus sebagai sebuah baptisan. Jika kata
“baptis” hanya berarti ditenggelamkan atau diselamkan, maka pertanyaan kita
adalah kapankah orang Israel ditenggelamkan atau diselamkan ke dalam laut?
Derek Prince membahasakan pengalaman orang Israel dengan berkata bahwa bani
Israel masuk ke dalam laut, melintasi laut dan keluar lagi dari dalam laut
(Prince, 165) dan ini menunjuk kepada fakta dan cara baptisan air yakni orang
yang dibaptis itu masuk ke dalam air, berjalan melintasi air, kemudian keluar
lagi dari air.(bid, 165-166).
Hal ini (yang dialami oleh
orang Israel) memang benar, namun persoalannya adalah bahwa fakta orang Israel
masuk ke dalam laut, melintasi laut dan keluar lagi dari dalam laut tidak
membuat mereka sampai tenggelam atau terbenam di dalam laut sehingga basah
kuyup. Dengan demikian fakta ini tidak bisa dipakai sebagai acuan terhadap cara
baptisan selam yang nyata-nyata membuat orang yang dibaptis itu basah kuyup.
Apa yang dikatakan oleh Prince itu senada dengan apa yang dikatakan oleh Lukas
Sutrisno : “Istilah Paulus tentang baptis di sini menunjuk atau mengacu kepada
kenyataan bahwa bangsa Israel itu betul melewati laut sebagai gambaran
ditenggelamkan” (Sebuah jawaban dalam diskusi dengan saya via email tanggal 20
Maret 2002) namun persoalannya adalah apakah hanya untuk menegaskan bahwa
bangsa Israel pernah melewati laut Paulus harus menggunakan kata “baptis”?
Kalau begitu apakah Paulus yang melewati Siprus dapat dikatakan bahwa ia
dibaptis (tenggelam) di Siprus? (Kis 21:3).
Apakah dengan masalah ini
maka para pemegang paham baptisan selam hendak menambah pengertian dari kata
“baptis” menjadi “melewati”? Jika para pemegang paham baptisan selam konsisten
dengan pengertian mereka tentang hanya ada satu arti kata “baptis” maka jawaban
yang diberikan di sini sungguh lemah dan terkesan dipaksakan. Mereka justru
seharusnya mengakui bahwa kata “baptis” tidak selamanya berarti ditenggelamkan.
Orang Israel tidak pernah tenggelam dalam awan. Yang terjadi adalah mereka
ditudungi oleh awan. Tentang laut, juga mereka tidak pernah tenggelam di dalam
laut. Mereka justru berjalan di tanah yang kering seperti kata Kel 14: 21-22 :
“…. dan semalam-malaman itu TUHAN menguakkan air laut dengan perantaraan angin
timur yang keras, membuat laut itu menjadi tanah kering; maka terbelahlah air
itu. Demikianlah orang Israel berjalan dari tengah-tengah laut di tempat
kering; sedang di kiri dan kanan mereka air itu sebagai tembok bagi mereka”.
Tentang ini Herlianto
berkata : “Dalam kedua gambaran ini tidak tergambar bahwa mereka tenggelam
dalam awan (seperti kalau kita naik pesawat dan masuk awan) atau laut (seperti
kapal selam). Mereka hanya dinaungi oleh awan dan ketika menyeberangi laut pun
mereka tidak basah (kecuali mungkin mengalami percikan embun) melainkan
berjalan di tempat kering (Kel.14:16,29), tetapi yang basah kuyup dan tenggelam
adalah tentara Mesir yang mengejar mereka (Kel.14:23-28)”. (Baptisan, Percik
atau Selam, hal.3). Pendapat ini senada dengan Rayburn : “paling-paling mereka
hanya terkena percikan” air dari “benteng air” yang ada di kanan-kiri mereka.
(Rayburn, 24).
Albert Barnes dalam
Barnes’ Notes hal 745 mengomentari ayat ini dengan berkata : “This passage is a
very important one to prove that the word baptism does not necessarily mean
entire immersion in water. It is perfectly clear that neither the cloud nor the
waters touched them” (Text ini adalah text yang sangat penting untuk
membuktikan bahwa kata baptisan tidak harus berarti penyelaman seluruhnya di
dalam air. Adalah sangat jelas bahwa baik awan maupun air tidak menyentuh
mereka). Lepas dari pengertian teologis di balik ungkapan ini, namun Paulus
menyebutkan kedua peristiwa itu sebagai baptisan. Yang kita persoalkan bukanlah
makna teologisnya tetapi arti katanya. Sekarang perhatikan juga Ibr 9:10 :
“Karena semuanya itu, di samping makanan minuman dan pelbagai macam pembasuhan
("baptizmois"), hanyalah peraturan-peraturan untuk hidup insani, yang
hanya berlaku sampai tibanya waktu pembaharuan”.
Kata “pembasuhan” di sini
menggunakan kata bahasa Yunani "baptizmois" yang adalah bentuk datif
dari kata "baptismos" yang berarti pembersihan, pembaptisan atau
pencucian. Konteks ayat ini berbicara tentang ordinasi penyucian yang bersifat
rohani dibandingkan dengan ordinasi penyucian yang bersifat duniawi dalam hal
ini menunjuk kepada aktifitas dalam Kemah Suci orang Israel. Sekali lagi di
sana dikatakan “pelbagai macam pembaptisan”. Jika kata “baptisan” hanya berarti
penenggelaman atau penyelaman, maka biarkanlah kita bertanya : “Adakah upacara
penyelaman atau penenggelaman dalam sistem ritualitas orang Israel di dalam
Kemah Suci? Jelas tidak ada! Bahkan lebih daripada itu aktifitas penyelaman
atau penenggelaman adalah sesuatu yang sangat asing dalam upacara agama orang
Israel. Kalau begitu apakah yang dimaksudkan dengan pelbagai macam pembaptisan
dalam ayat ini? Marilah kita melihat dalam konteks dekatnya yakni Ibr 9:13 :
“Sebab, jika darah domba jantan dan darah lembu jantan dan percikan abu lembu
muda menguduskan mereka yang najis, sehingga mereka disucikan secara lahiriah”
(band. Bil 19), Ibr 9:19 : “Sebab sesudah Musa memberitahukan semua perintah
hukum Taurat kepada seluruh umat, ia mengambil darah anak lembu dan darah domba
jantan serta air, dan bulu merah dan hisop, lalu memerciki kitab itu sendiri
dan seluruh umat” , dan Ibr 9:21 : “Dan juga kemah dan semua alat untuk ibadah
dipercikinya secara demikian dengan darah”.
Ketiga ayat ini menunjuk
kepada upacara agama dalam Kemah Suci orang Israel yang oleh penulis Surat
Ibrani disebut sebagai “baptisan”. Tiga ayat itu semuanya menggunakan kata
“percik”, itu berarti bahwa dalam bagian ini kata “baptis” dapat berarti
pemercikkan dan bukan penyelaman atau penenggelaman yang adalah ide yang asing
bagi orang Israel. Memang kalau kita memeriksa atau meneliti kata “percik”
dalam ketiga ayat ini tidaklah menggunakan kata "baptizo" melainkan
"rantizo". Mungkin inilah yang membuat Lukas Sutrisno dalam
websitenya berkata : “Kata Baptis sebenarnya diambil dari kata
"baptizo" yang berarti celup atau ditenggelamkan. Sedangkan percik
itu bahasa Yunaninya bukan baptizo, tetapi "rantizo" atau dalam
bahasa Inggrisnya sprinkle/sprinkling, sedangkan kata Baptis yang ditulis di
Alkitab adalah baptizo bukannya rantizo.” (www.come.to/alfa-omega).
Untuk memahami hal ini
kita perlu mengetahui terlebih dahulu bahwa kata “bapto” atau “baptizo” itu
mengandung keunikan makna. Keunikan makna dari kata tersebut nampak dalam dua
hal : (1) Penenggelaman atau penyelaman bukanlah satu-satunya arti dari kata
“bapto” atau “baptizo”. Beberapa ayat yang telah diteliti sebelumnya
memperlihatkan bahwa kata “bapto” atau “baptizo” bisa berarti membersihkan,
membasuh, mencuci, memercik, mengguyur, dll. (2) Kata “bapto” atau “baptizo”
bukanlah satu-satunya kata yang dipakai untuk penenggelaman atau penyelaman.
Alkitab membuktikan bahwa ada banyak kata “tenggelam” yang tidak memakai kata
“bapto” atau “baptizo” seperti dalam Mat 18:6 yang memakai kata
"katapontisthe", Ibr 11:29 yang memakai kata
"kateponthesan". Dengan melihat dua keunikan arti di atas, maka kita
dapat katakan bahwa sebenarnya kata “bapto” atau “baptizo” itu adalah sebuah
kata yang umum yang terdiri dari beberapa kata kerja sama seperti dalam dunia
persepedamotoran, kita mengenal adanya merk Suzuki namun yang tergolong ke
dalam Suzuki itu begitu banyak. Ada Suzuki Smash, Tornado, Shogun, Cristal,
Satria, Bravo, dll. Jadi yang terkandung di dalam kata “bapto” atau “baptizo”
itu antara lain : "katapontizo atau katapontizomai = tenggelam seperti Mat
18:6; Ibr 11:9; Mat 14:30, "rantizo" = percik dalam Ibr 9:13,19,21,
"nipto" = mencuci, membasuh dalamYoh 13:10, "louo",
"loutrou" = mandi dalam Efs 5:26; Yoh 13:10, "gemizo" =
celup, mengisi, memenuhi dalam Mark 15:36 dan "duno" = membenamkan
dalam Efs 4:26; Mark 1:37.
Dengan demikian kata
“rantizo” yang muncul dalam ayat 13, 19 dan 21 dari Ibrani pasal 9 tidaklah
cukup untuk menggugurkan kesimpulan yang telah kita ambil dari penelitian
konteks yang sangat akurat. Mengapa? Karena kata “percik” ("rantizo")
adalah termasuk ke dalam kategori “baptizo”. Dari beberapa ayat yang telah
dibahas di atas baik dari penelitian konteks dekat maupun konteks jauhnya,
penggunaan dan analisis kata atau bahasanya serta analisa budaya dan sistem
religius orang Yahudi, maka kita seharusnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa
kata “bapto” atau “baptizo” mempunyai makna unik dan jamak. Menyelamkan atau
menenggelamkan bukanlah satu-satunya arti melainkan salah satu arti saja
sebagaimana apa yang dikatakan oleh Herlianto : “Dalam bahasa Yunani, kata
'Bapto' artinya bisa 'mencelupkan di dalam atau di bawah' atau bisa juga
berarti mencelupkan bahan-bahan untuk memberi warna baru, sedangkan 'Baptizo'
bisa berarti 'membenamkan', 'menenggelamkan' atau 'membinasakan.' Tetapi,
baptizo juga bisa berarti 'masuk di bawah' atau 'dipengaruhi', dan dalam
suasana helenisme juga diartikan sebagai 'mandi' atau 'mencuci.'” (Herlianto,
1).
LAPORAN BACA TEOLOGI KOTEMPORER (Teologi Abu-abu; Pluralisme Iman, Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme Dalam Teologi Kristen)
Teologi Kontemporer |
Judul buku :
Teologi Abu-abu; Pluralisme Iman, Tantangan dan Ancaman Racun
Pluralisme Dalam Teologi Kristen
Pengarang :
Stevri Indra Lumintang, M.Th.
Penerbit :
Departemen Literatur YPPII. Malang, Jawa Timur.
Tahun :
2000
Cetakan :
Pertama
Tebal :
518 halaman
Bagian
yang dilaporkan adalah halaman 141-157 dan 201-229.
Pada bab VI mengenai latar belakang
bangkitnya kristologi abu-abu, penulis mengungkapkan persoalan kristologi
menyangkut relasi peristiwa Yesus dan penulisan, relasi Yesus kepercayaan dan Yesus
sejarah, relasi studi pribadi Yesus dan karya Yesus, titik berangkat
kristologinya dan persoalan finalitas Yesus di Antara agama-agama dunia.
Mengenai persoalan relasi Yesus kepercayaan
dan Yesus sejarah, penulis mengungkapkan bahwa pertanyaan mengenai dapatkah
suau pengertian yang pantas mengenai Yesus didasarkan atas data sejarah ataukah
harus disikapi dengan iman telah melahirkan berbagai respon kelompok liberal
berupa penelitian Yesus Sejarah, kemudian dilanjutkan dengan lahirnya
penelitian baru mengenai Yesus Sejarah, Yesus Seminar serta kemudian bangkit
pula penyelidikan ketiga mengenai Yesus Sejarah. Penulis berpendapat bahwa Penyelidikan
Yesus Sejarah adalah penyelidikan mengenai Yesus sejarah dengan menggunakan
metode kritik Alkitab, dengan tokoh-tokoh seperti David Strauss, Ernest Renan,
Adolf Von Harnack, dan Albert Schweitzer, yang melihat Yesus sebagai manusia biasa saja yang
rohani dan bermoral serta memiliki kebenaran-kebenaran iman. Pendekatan mereka
adalah humanitas, pengalaman agamawi dan metode penelitian ilmiah.
Penyelidikan baru Yesus Sejarah dilaksanakan
oleh Barth, Bultman dan Bornkamm. Penelitian ini menekankan transendensi dan
kekuasaan Allah seta kebutuhan manusia akan penebusan di mana focus kekristenan
adalah pada kerygma. Sedangkan penyelidikan ketiga Yesus Sejarah merupakan
perpaduan metode dan model dari pelbagai macam disiplin ilmu yang berbeda yaitu
sosiologi, antropoologi, sejarah dan ilmu perbandingan agama, selain metode penelitian Alkitab. Penyelidikan ini
lebiih menyoroti Yesus dalam konteks keYahudian-Nya abad pertama di mana Ia
hidup dan melayani. Penulis berpendapat bahwa pada dasarnya penyelidikan
mengenai Yesus Sejarah ialah tidak mempercayai Kitab Injil Kanonik sebagai
sumber pemahaman tentang Yesus., mengabaikan aspek utama yaitu rohani; membuang
semua unsur-unsur supernatural, menghilangkan mitos dari kekristenan, memandang
Yesus sebagai manusia biasa yang baik dan bermoral tinggi dan patut diteladani
oleh orang Kristen. Penulis berpendapat bahwa fakta ini sudah dan sedang
merusak kekristenan dewasa ini.
Mengenai persoalan relasi studi
pribadi Kristus dan karya Kristus, penulis menyatakan bahwa itu adalah
persoalan memisahkan kristologi yang ontologis, yang menekankan pada pemahaman
tentang siapakah Yesus dan kristologi yang fungsional, yang menekankan pada apa
yang dikerjakan Kristus bagi manusia. Persoalan ini telah bermula sejak gereja
purba sampai sekarang ini. Penulis menilai bahwa yang paling berantusias dengan
kristologi fungsional ialah kaum pluralism, yang menekankan karya Yesus bagi
manusia, bukan dalam arti penebusan tapi dalam arti pembaharuan social, dengan
salah satu tokohnya adalah Choan-Seng Song. Penulis berpendapat bahwa pada hakekatnya,
seorang teolog bahkan orang Kristen pada umumnya, tidak patut memisahkan
pribadi dan karya Kristus dalam berkristologi. Memandang hanya satu sisi dari
pribadi dan karya Kristus adalah bertentangan dengan hakekat atonemen Kristus.
Berkaitan dengan persoalan titik
berangkat kristologi, penulis mengungkapkan ada dua titik berangkat atau dua
metode pendekatan yaitu metode Kristologi dari atas (The Christology From
Above), dikenal sebagai strategi dasar dan orientasi gereja abad permulaan,
yang pada abad ke-20 dipakai Karl Barth, Rudolf Bultmann dan Emil Brunner. Yang
kedua adalah Kristologi dari bawah, yang memulai dengan manusia Yesus dari
Nazaret kemudian bertanya bagaimana caranya Ia menjadi Allah, dengan tokohya
adalah Wolfhart Pannenberg. Penulis berpendapat bahwa yang benar adalah
perpaduan kedua pendekatan tersebut seperti yang dilakukan C.H. Marshal, C.F.D.
Moule dan M.F. Erickson.
Mengenai persoalan finalitas Yesus di
antara agama-agama dunia, penulis mengungkapkan bahwa finalitas kristus menegaskan
finalitas agama Kristen, mendapat tantangan justru dari kalangan Kristen
sendiri karena adanya fakta pluralism agama dan tuntutan kerukunan hidup
beragama. Pluralitas keagamaan semakin mendesak dan memilah kelompok Kristen
eksklusif menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang semakin tertutup dan
kelompok yang inklusif. Kelompok inklusif setidaknya memiliki tiga pendekatan
terhadap pluralism keagamaan, yaitu Teosentris, Kristosentris, dan dialogis.
Pendekatan theosentris memfokuskan
perhatian kepada Allah daripada pada Kristus, dan pernyataan-pernyataan Yesus
yang bersifat theosentris. Tokohnya adalah Coward, Paul Tilick, John Hick dan
Wilfres Cantel Smith. Pendekatan Kristosentris dengan dua model pendekatan
yaitu model pendekatan Kristologi eksklusif yang dianut oleh teolog Injili dan
yang kedua adalah model pendekatan Kristologi pluralisme, sebagai pendekatan
terhadap agama-agama lain berdasarkan Kristologi yang mengganggap bahwa Yesus
Kristus adalah penjelmaan Allah yang unik. Penulis mengganggap pada dasarnya
pendekatan Theosentris dan Kristosentris yang pluralis adalah pendekatan yang
mengabaikan kebenaran Firman Tuhan dalam Yohanes 3:16, 36 dan berusaha untuk
diterima dalam sosialisasinya dengan agama-agama lain, namun rela membuang
keunikan dan kefinalitasan Yesus, kebenaran-kebenaran iman Kristen yang hakiki.
Pendekatan dialogis dipelopori oleh
tiga teolog Asia, yaitu Stanley Samartha, Raimundo Panikkar dan Choan-Seng Song
yang menempuh pendekatan ini karena diwarnai oleh latar-belakang kehidupan
pribadi yang hidup sebagai kelompok minoritas. Penulis berpendapat bahwa konsep
dari pendekatan dialogis ini adalah pendekatan yang sangat kompromistis yang
merusak sendi-sendi Kekristenan yang utama, memaksa orang Kristen untuk
menyembunyikan finalitas Yesus dan kemutlakan kebenaran Alkitab, serta memaksa
orang Kristen untuk mengakui adanya kebenaran di luar Yesus, yaitu kebenaran
yang diperoleh melalui mempelajari kebenaran agama lain.
Mengenai usulan kaum pluralis dalam
berdialog, penulis memaparkan pendapat Choan-Seng Song yang megangkat tujuh
tahap untuk mencapai pertobatan dialogis yaitu langkah-langkah praktis dialog
sampai pada puncaknya yaitu kehidupan bersama dengan mitra dialog. Tahap
pertama adalah mengalami perasaan dalam agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan;
memahami agama lain dari sudut pandang agama itu sendiri. Tahap kedua adalah
proses identifikasi yaitu pencarian hal-hal yang kita kenal di Antara yang
asing. Tahap ketiga adalah terbuka dan melihat persekutuan orang-orang bukan
Kristen dengan Allah dan sesama. Tahap keempat adalah mengalami kehidupan
bersama secara mendalam dimana kita belajar bahasa mereka, memberi perhatian
kepada semantic mereka, tanggap terhadap nuansanya dan paham akan cerita
mereka.
Tahap kelima, mengakui kebodohan
bahwa kita belum memahami agama-agama lain. Tahap keenam adalah tahap pengakuan
kebodohan, penilaian kembali yang radikal terhadap diri sendiri dan melakukan
perjanjian iman. Tahap ketujuh adalah berbalik dari memakai dialog sebagai alat
untuk mengubah iman dan kepercayaan lain dan melangkah masuk ke dalam kehidupan mitra-mitra berdialog. Menurut
penulis, semua konsep dan metode dialog kaum pluralis adalah sangat berbahaya
bagi misi Kristen, bukan hanya melemahkan dan melumpuhkan melainkan juga
mematikan misis Kristen.
Pada bab IX mengenai penginjilan
dalam konteks masyarakat majemuk, penulis memberikan kontribusi pemikiran
dengan menegaskan bahwa pluralisme adalah tantangan sekaligus peluang.
Sementara misi alkitabiah berangkat dari Missio Dei, dan misi Kristen berbicara
tentang peran orang Kristen dalam pelaksanaan amanat misi Allah, yaitu
penebusan oleh Yesus Kristus yang dikerjakan-Nya secara sempurna di kayu salib.
Penulis mengungkapkan dialog yang
teologis sebagai tugas gereja, amanat dari Allah yang telah, sedang dan akan
berdialog dengan manusia melalui Alkitab sebagai Firman Allah. Sebagai tugas
gereja, dialog dapat diterapkan sebagai upaya mengantisipasi konflik antar
agama dan upaya menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa. Dialog formal yang
dibangun melalui konferensi atau pertemuan-pertemuan resmi antar agama tidaklah
efektif untuk pekabaran Injil. Sementara dialog non-formal yang dibangun
melalui pendekatan persahabatan atau persaudaraan dengan orang beragama lain
masih relevan sebagai jembatan pekabaran Injil. Perlu ada pemahaman ulang
mengenai istilah dialog dengan tidak boleh mengabaikan proklamasi Injil Yesus
Kristus yang lahir dari inti Injil yaitu finalitas Yesus dimana dialog antar
pribadi lebih efektif daripada dialog antar kelompok. Dialog ini harus diawali
dengan dialog kehidupan. Penulis juga menegaskan bahwa dalam misi penginjilan
yang kontekstual, membangun persekutuan dengan orang bukan Kristen, bukan
sebagai tujuan misi Kristen melainkan sebagai pendekatan untuk proklamasi
Injil. Konstekstualisasi tersebut seperti yang dicontohkan Paulus.
Pada halaman 213-233 penulis
memaparkan mengenai teologi abu-abu yang dianut Choan-Seng Song. Pada bab X
dijelaskan mengenai latar belakang teologi abu-abu C.S Song, latar belakang
pribadi, tinjauan umum teologinya dan sumber teologinya serta pengaruhnya di
Indonesia.
Choan-Seng Song adalah seorang teolog
Presbiterian dari Taiwan yang belajar di National Taiwan University, dan
melanjutkan studinya di New College Edinburgh dan Union Theological Seminary di
New York. Ia bekerja sebagai professor Teologi Sistematika merangkap pimpinan
Tainan Theological College pada tahun 1976-1977, dan sebagai guru besar tamu
pada Princeton Theological Seminary. Kemudian menjadi salah seorang direktur
secretariat Komisi Iman dan Tata Gereja Dewan Gereja se-Dunia di Jenewa Swiss.
Song menjadi professor untuk bidang teologi dan kebudayaan-kebudayaan Asia pada
Pasific School of Religion, Berkeley, California, USA dan bekerja di World
Council of Churches and World Alliance of Reformed Churches di Jenewa.
C.S. Song adalah seorang pelopor bagi
teologi konteks Asia, yang mendukung dan menganjurkan cara-cara berteologia
Asia dengan memanfaatkan sumber-sumber dan pengertian-pengertian Asia. Beberapa
bukunya misalnya, “From Israel to Asia, A Theological Leap”, An Asian Attempt,
Third-Eye Theology: Theology in Formation in Asian Settings, The Compassionate
God, The Tears of Lady Meng: A Parable of People’s Political Theology, The
Crucified People, Tell Us Our Names dan sejumlah tulisan lainnya.
Penulis memberikan pendapatnya
mengenai metode pendekatan Song bahwa pendekatan kristologi Song adalah sama
dengan semua pendekatan Kristologi kaum pluralis, yaitu menekankan pada
Kristologi Fungsional yang melihat Allah dari sudut manfaat, seperti Allah
mengasihi, memberi hidup kepada manusia. Mengenai konsep soteriologis, Song
menolak sejarah keselamatan yang linier dan sempit, yang Kristosentris, atau
dengan kata lain menolak finalitas Yesus, humanistis dan sama dengan konsep
Pelagius serta Arminian.
Mengenai konsep Kristologis, Song
menekankan kemanusiaan Yesus, sebagai manusia biasa yang didiami oleh Allah,
pandangan yang sama dengan para tokoh liberal kuno seperti Albert Schweitzer,
Albrecht Ritschl, Adolf Von Harnack. Mengenai konsep misiologis, Song
menekankan Kerajaan Allah, misi kasih, dan bukan kebenaran. Konsep Misi Song
menurut penulis adalah konsep misi humanis dan bukan Alkitabiah. Sementara itu,
berkaitan dengan metodologi yang dialogis, Song menyetujuinya sebagai
perjumpaan sejati dengan orang, kepercayaan dan ideology lain dan menemukan ada
jalan lain untuk mengenal kebenaran; pandangan yang sama dengan pandangan kaum
pluralis.
Sumber teologi abu-abu dari C.S. Song
adalah dari lingkungan hidupnya sebagai orang Asia dengan kemajemukan agama dan
kebudayaan. Latar belakang studinya juga berpengaruh besar. Selanjutnya adalah
pengalaman hidup dan studi terhadap para teolog sekularis dan liberalis seperti
filsafat Chuang Tzu dan Hui Tzu, John Macquarrie, Harvie Cox, John A.T.
Robinson serta teolog-teolog pluralis seperi Joachim Jeremias. M.M Thomas,
Leslie Newbigin, Kosuke Koyama, C.H. Hwang, Masao Takenaka, Stanley Samartha
dan Dr. Ans van Bent.
Teologi abu-abu C.S. Song cukup besar
pengaruhnya di Indonesia. Banyak bukunya beredar di Indonesia, yang dipakai di
toko buku Kristen dan perpustakaan sekolah teologi, atau dengan kata lain
dianggap bermanfaat bagi pengajaran teologi di Indonesia.
Dari pemaparan ini penulis sangat mengkritisi pengaruh pluralisme dan menyatakannya sebagai hal yang berbahaya bagi teologi dan iman Kristen. Semakin jelas digambarkan bahwa teologi pluralis berangkat dari konteks. Pandangan penulis sama dengan pandangan adiknya, Ramly Lumintang yang mengungkapkan bahwa teologi yang dibangun atas konteks akan kemudian hilang sejalan perubahan konteks.
by : James Theopilus Mahasiswa SEKOLAH TINGGI TEOLOGI BANDUNG
Rabu, 16 November 2022
APA POIN PENTING DARI PERJALANAN PAULUS YANG KE 2 ?
Dalam perjalanan Paulus yang kedua ini dimana setelah sidang di Yerusalem Paulus
melanjutkan perjalanannya
dalam memberitakan Injil. Namun, dalam melanjutkan perjalanan ini Paulus tidak
lagi bersama Barnabas. Barnabas tidak ikut serta, sebab Paulus tidak memberi kesempatan kedua bagi Yohanes Markus (poin Leadership) di sini Paulus bukannya tidak lagi mempercayai Yohanes
Markus namun, sikap mereka
yang tidak menunjukkan keniatan dalam perjalanan pertama membuat Paulus tidak lagi memberi kesempatan (1 Tim 3:1). Meskipun demikian Paulus melanjutkannya
dengan Silas dan dalam perjalanan
di Listra Timotius ikut bergabung dengan
mereka serta Lukas yang bergabung di Troas. Dalam perjalanan ini Paulus membuat rencana bahwa
dia akan pergi ke Asia namun, hal ini tidak dikehendaki Roh Kudus (poin mengikuti kehendak Allah) pada saat mereka
di wilayah Asia kecil dekat Eropa, Paulus bermimpi dimana ada
seorang Makedonia yang meminta
tolong. (poin rasa kepedulian Paulus) Hal ini diartikannya
sebagai petunjuk dari
Allah. Dan setibanya disana
yaitu di kota
Filipi, yang sebelumnya Paulus merasa ragu akan perjalanan ini semuanya sirna
dengan adanya pertobatan, yaitu Lidia. Ini
merupakan jembatan sehingga terbentuknya jemaat Kristen yang cukup besar. Namun tidak sampai
disini saja, bahkan ada perempuan
yang
rasuki roh tenung yang terus
mengganggu Paulus dan ini menjadi kesempatan bagi Paulus untuk memberitakan tentang Kristus yang membebaskan tawanan. Tetapi setelah perempuan
itu bebas dari roh tenung itu, tuan-tuan yang
memperoleh
penghasilan dari perempuan itu menjadi marah sebab Paulus telah memberikan
ajaran yang
menurut mereka tidak boleh dituruti orang Romawi. Sehingga konflik ini membuat Paulus dan
Sikas masuk penjara. Tetapi mereka
tidak patah semangat, bahkan saat terjadi gempa bumi
ada peluang mereka untuk melarikan diri sama
seperti tahanan lainnya, tetapi itu tidak dilakukan
mereka. Tindakan mereka ini malahan membuat kepala penjara heran dan menanyakan kuasa yang mereka
miliki setelah itu kepala penjara itu masuk kristen bersama keluarganya
(poin mempergunakan waktu dan keadaan untuk memberitakan
Injil). Melalui kejadian ini Paulus sadar akan statusnya sebagai warga Roma dan akhirnya
mereka dibebaskan, dan melanjutkan perjalanan.
Namun, dalam perjalanan selanjutnya Lukas tidak lagi turut serta
sebab dia tinggal untuk mengurus orang-orang Kristen
baru. (poin dalam
memberitakan Injil perlu adanya variasi).
Senin, 14 November 2022
IDE KEPENULISAN SURAT KOLOSE
1.
Mengenal Identitas Kristus (Kolose 1:15-23)
Identitas adalah ciri-ciri atau keadaan khusus. Kita sebagai anak-anak
Allah dituntut untuk mengenal Kristus sebagai Tuhan dan juruslamat. Sebagai
anak kepada Bapa harus memiliki ikatan atau sebuah penghubung yang kuat. Karena
tidak cukup hanya Allah mengenal anak-anaknya namun sebagai anak-anaknya juga
harus perlu mengenal kepribadian, identitas Allah. Sangat perlu mengenal
identitas Kristus demi pertumbuhan iman dan hubungan yang kuat antara kita
dengan Kristus. Ada tiga poin dalam mengenal idedintas Kristus yaitu:
1.
Kristus
adalah gambar Allah yang tidak kelihatan (kolose 1:15), bahwa keberadaan dan
kesempurnaan Allah secara akurat digambarkan dan diwakilkan oleh Kristus atau
berada dalam Kristus. Disini Kristus bukan hanya sekedar inkarnasi karena
beberapa menegaskan Dia sebelum berinkarnasi bahwa keberadaannya adal
ah kekal,
pewarisannya akan alam semesta, dan kegenapan berdiam dalam dirinya. Sebab itu
Allah yang tidak kelihatan adalah Yesus Kristus.
2.
Kristus
adalah pencipta bukan ciptaan (kolose 1:16), seluruh aktivitas kreatif yang
dirangkum dalam Kristus termasuk para malaikat dan segala sesuatu yang ada
dibumi Allah juga ikut mengerjakan proses penciptaan. Kristus masuk untuk
menciptakan. Kristus terlebih dahulu dari segala sesuatu, selain Kristus gambar
Allah yang tidak kelihatan, dia juga adalah pewaris dari segala yang
diciptakannya.
3.
Kristus
adalah yang utama sebab Kristus adalah kepala tubuh yang pertama bangkit dari
antara orang mati dan sebagai pendamai (kolose 1:17). Tubuh Kristus
diidentifikasikan sebagai gereja dan kepala Kristus untuk menopang gereja. Dengan
menempatkan gereja sebagai tubuh Kristus maka gereja menjadi tempat di mana
pekerjaan pendamaian yang Allah lakukan dapat di lihat sebagai suatu realitas
yang mendamaikan melalui Kristus dapat bersekutu.
2.
Hidup Orang Pilihan (Kolose 3:5-17)
Paulus menyebut orang-orang pilihan Allah adalah hidup
kudus. Orang-orang pilihan Tuhan dikuduskan dan dikasihi. Ada dua tujuan
penting Paulus menuliskan surat ini yaitu
1.
Orang-orang
Kolose dikuatkan karena pada saat itu banyak pnyesatan terjadi disana.
2.
Memberikan
panduan atau tuntunan praktis bagaimana harus hidup seorang Kristen.
Orang pilihan Allah harus betul-betul memperhatikan
bagaimana hidup sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Tuhan. Ciri-ciri orang
yang hidup sebagai orang pilihan Tuhan yaitu :
1.
Menanggalkan
manusia lama serta kelakuannya, dan harus mengenakan manusia baru yang selalu
diperbahaharui supaya memperoleh pengetahuan segala yang benar.
2.
Orang-orang
pilihan Tuhan harus mengenakan belas kasihan, kemurahan , kerendahan hati,
kelemahlembutan dan kesabaran.
3.
Orang-orang
pilihan Tuhan hendaklah di dalam hatinya damai sejahtera sebab kita elah
dipanggil menjadi satu tubuh.
4.
Setiap
perkataan Tuhan biarlah kiranya berdiam dalam hati kita, sehingga memperoleh
hikmat dan selalu mengucap syuur kepada
Tuhan.
3. Berbuat
Untuk Tuhan (kolose 3:23)
Segala sesuatu yang
baik dan benar dilakukan oleh setiap pribadi Kristiani maupun kelompok termasuk
di saat memenuhi tugas tanggungjawab dalam berbagai profesi bahkan status baik
sebagai anggota-anggota keluarga, siswa di sekolah, guru, dosen, pendeta,
pegawai, pejabat dan pembantu rumah tangga sekalipun tunaikanlah semua itu
hanya untuk Kristus TUHAN bukan untuk dunia ini, diri sendiri maupun manusia
dan segala sesuatu yang dilakukan berdasarkan iman (untuk Tuhan) pasti akan
memperoleh upah(bayaran), dimana besaran upah tersebut tidak dapat disamakan
apa lagi dibandingkan dengan nilai nominal maupun harta duniawi, yaitu upah
yang akan diberikan Tuhan kepada setiap orang yang setia berbuat hanya untuk
Tuhan sepanjang perjalanan hidupnya di dunia yang fana ini. Dan tetaplah ingat bahwa setiap jerih payah dan pengorbanan karena
berbuat untuk Tuhan tidak akan pernah sia-sia. Segala perbuatan yang ditujukan
untuk mempermuliakan Tuhan dalam berbagai kebajikan itu sama dengan
berinvestasi di sorga dan pasti akan menikmati hasilnya sebab Tuhan setia
dengan segala janji-janji firman-Nya.